Pages

Minggu, 25 November 2018

How we plan our wedding: decoration

Dalam mempersiapkan pernikahan, ada beberapa orang lebih ingin menyiapkan acara pernikahannya sendiri. Alasannya bisa jadi karena pertimbanganann budget, keinginan pada spesifikasi tertentu yang tidak ada di vendor, atau lebih untuk memanfaatkan skill dan pengalaman sendiri yang bisa dimanfaatkan. Atau bisa juga gabungan dari semua alasan yang intinya adalah untuk menekan efisiensi dari sebuah persiapan pernikahan.

Sumber: pinterest.com

Rabu, 17 Oktober 2018

Finally "officially" engaged

Di malam menjelang acara lamaran, saat kami hendak tidur, kakek memberi banyak wejangan kepada saya. Saat itu, saya, ibu, bapak dan kakek, tidur di satu kamar yang sama. Saya ingin segera beristirahat agar di acara besoknya bisa lebih segar, tapi tiba-tiba kakek memantik obrolan yang nampaknya cukup serius. Itu menjadi sesi ngobrol terlama dan terdekat selama hidup saya bersama kakek. Saya tak pernah melihat kakek seantusias itu sebelumnya. Ia begitu bersemangat dalam bercerita. Hingga tak sadar kami telah menghabiskan sekian jam hingga cukup larut malam. Beliau memberi wejangan dan masukan kepada saya khususnya untuk teknis penyampaian lamaran besok. Beliau nampaknya memang sudah punya template apa yang harus disampaikan oleh seorang lelaki yang hendak melamar perempuan. Kisi-kisi yang disampaikan beliau cukup jelas dan sederhana. Saya berusaha mengingatnya. Beliau sangat mewanti-wanti jangan sampai ada poin yang tertinggal. Selain tentang wejangan-wejangan, beliau juga menceritakan tentang kepercayaan beliau terhadap pemilihan tanggal pernikahan, dimana sebelumnya sempat ada perbedaan pendapat di antara kami. Saya dan ibu tetap pada posisi bahwa semua tanggal baik. Tawaran tanggal dari keluarga Tazkia 29 Desember 2018 kami kira tidak masalah. Hanya saja saat itu kakek sangat menentang tanggal tersebut, karena suatu hal tertentu. Malam itu beliau menceritakan apa kenapa beliau tidak setuju dengan tanggal tersebut.


Selasa, 16 Oktober 2018

Melamar

Jumat, 5 Oktober 2018 saya telah menginjakkan kaki di Jakarta setelah sebelumnya mantap dengan keputusan untuk pulang dan melamar Tazkia. Hari pertama kedatangan, saya langsung menuju ke rumahnya dan menemui kedua orang tuanya untuk pertama kali sejak kami saling berkenalan beberapa minggu sebelumnya melalui skype. Dari obrolan singkat sore itu, sedikit demi sedikit kedekatan komunikasi antara kami mulai terbangun. Bagaimana tidak, sebelumnya kami hanya bisa berkomunikasi melalui whatsapp dan email, karena memang kami berkomitmen berusaha untuk menjaga interaksi satu sama lain. Itupun dengan pengawasan dari keluarga dan kedua orangtuanya.



Dua hari berikutnya setelah kedatangan, telah dijadwalkan acara lamaran atau khitbah antara kami dan kedua pihak keluarga. H-1 sebelum lamaran, Ibu, Bapak, dan kakek tiba di Jakarta setelah menempuh perjalanan darat menggunakan kereta api dari Ngawi Jawa Timur selama kurang lebih 11 jam. Disaat itu pula saya baru bertemu mereka, setelah sekitar 1 tahun yang lalu. Momen lamaran itulah yang membuat saya berkesempatan pulang untuk bertemu keluarga Ibu Bapak dan keluarga. Sungguh bahagia tentunya bisa bertemu mereka lagi. Pada petang hari, saya dan om yang kebetulan berdomisili di Jakarta menjemput mereka di stasiun Jatinegara dan melanjutkan perjalanan untuk numpang menginap sekaligus di rumah beliau.

Senin, 15 Oktober 2018

One Step Closer: Engagement


24 Agustus 2018

Hari itu dia mengabarkan bahwa senseinya (sensei=dosen) mengizinkannya untuk pulang ke Indonesia oktober mendatang. Ya karena masih terikat sebagai mahasiswa master di Jepang, agak sulit untuk izin pulang untuk waktu yang lama kecuali dengan alasan yang kuat. Kemudian dia juga mengabarkan dengan bahagia jika dia langsung membeli tiket pesawat, untuk benar-benar meyakinkanku bahwa janjinya untuk pulang memang benar. Tentunya mengabarkannya melalui grup whatsapp yang berisi aku, dia, dan Fulanah.

Beberapa persiapan menjelang lamaran mulai aku list satu per satu. Waktu itu aku sama sekali tak ada bayangan rangkaian acara apa saja yang ada di dalam acara lamaran. Kemudian aku diskusikan dengannya di grup whatsapp itu. Dia memberikan beberapa poin sususan acara pada umumnya, kemudian aku yang membuat run down yang lebih detailnya. Tetapi tetap terasa kurang jika harus dituliskan secara rinci. Beberapa video di youtube mengenai lamaran pun aku tonton untuk mendapatkan inspirasi dalam membuat run down. 



Kamis, 11 Oktober 2018

Bertemu (2)

Setelah diantar Gojek dan hanya bermodal tanya orang-orang sekitar komplek, akhirnya saya berhasil menemukan rumahnya. Saya telah berada tepat di depan pagar rumahnya.

Seharusnya saya memberi kabar terlebih dahulu kepada Ayah dan Ibunya, bahwa saya telah sampai. Namun apa daya, sejak di bis saya tak bisa mendapatkan koneksi internet. Kedatangan saya waktu itu bisa saja cukup mendadak.


Saya kentuk pagar dan ucapkan salam. Terdengar sayup jawaban dari dalam rumah. Beberapa saat seorang pria paruh baya keluar dari pintu rumah. Ya, beliau adalah ayah darinya. Tak sedikitpun berbeda sejak kami bercakap di video call sekitar sebulan sebelumnya. Sayapun masuk dengan membawa tentengan tas carrier dan tas selempang kecil.

Kami memulai obrolan ringan. Setelah beberapa saat, ibunya datang dengan membawa makanan di loyang. Makanan yang telah dijanjikan sebelumnya saat kami berbincang via Whatsapp. Beliau sangat mempersiapkan hidangan itu. Soto Padang! Terimakasih umi! Saya yang cukup kelaparan saat itu segera menyantapnya dengan lahap. Kami sambil melanjutkan mengobrol, hingga semangkuk soto di tangan ludes.

Rabu, 10 Oktober 2018

Bertemu (1)

Malam itu saya berangkat dari sendai menuju bandara Haneda. Penerbangan saya terjadwal pada pukul 11 malam dan sampai di Jakarta pada pukul 10 pagi keesokan harinya. Itu merupakan penerbangan saya pertama kali ke Indonesia, setelah tinggal kurang lebih setahun di Jepang. Jalan Allah melalui proses ta'aruf inilah yang mengantar saya pada momen itu. Ya, saya pulang.


Perjalanan malam itu saya lalui dengan beristirahat pulas. Walaupun sempat mendengar instruksi Pilot untuk mengenakan sabuk pengaman saat pesawat melalui Typon di atas langit Okinawa, masuk kedalam mimpi saya. Alhamdulillah, saya sampai di Kuala lumpur dan kemudian lanjut menuju bandara Soekarno Hatta dan sampai di sana dengan selamat.

Selasa, 09 Oktober 2018

Kapan Dia Hadir?

Aku pernah membaca sebuah tulisan di blog orang yang bercerita tentang kisah orang sholeh zaman dulu yang menikah bukan atas dasar cinta. Tetapi karena Allah. Dan cinta itu mulai tumbuh seiring dengan berjalannya waktu setelah pernikahan. Masha Allah!


Setelah berminggu minggu berlalu sejak bertukar CV aku penasaran akan satu hal. Aku penasaran dan menantikan kehadiran cinta itu. Apakah memang benar takdirnya cinta datang setelah pernikahan? Karena selama ini aku menerima semua proses ini hanya berdasar pada rasa yakin saja. Namun tiba-tiba rasa gila ketakutan membayang-bayangi ku. Bagaimana mungkin akan menikah tapi tidak cinta? Maksudku mungkin belum. Aku kembali bercerita pada Fulanah. Pun diiringi tangis yang tak tertahan karena emosi yang meluap-luap. Rasanya proses ini sangat penuh dengan drama. Aku kembali menegaskan pada Fulanah bahwa aku termasuk orang yang introvert. Susah cari teman nyaman. Maksudku perlu 'waktu yang cukup lama' bagiku agar kenyamanan itu hadir. Teman saja susah. Bagaimana mungkin aku bisa bersama dengan seseorang yang baru aku kenal di sisa hidupku? Fulanah memberikan beberapa penawaran untuk dapat mewadahi agar aku dapat mengenal dan merasa nyaman dengannya. Hingga jatuhlah pada pilihan dibuatkannya grup whatsapp antara aku dan dia. Juga Fulanah. Kami membicarakan banyak hal. Dari yang ringan hingga agak serius. Bercerita tentang keseharianku dan kesehariannya, rencana pernikahan yang seperti apa, rencana masa depanku, dan lain-lain. Namun tetap aku masih belum mendapati kehadiran cinta itu. Aku masih menganggapnya sebagai teman saja.

Sabtu, 06 Oktober 2018

Pertemuan Pertama Kita

5 Oktober 2018

Hari ini dia akan datang ke rumahku untuk menemui kedua orang tuaku dan aku. Dia akan datang ke Indonesia setelah satu tahun lebih tak pulang. Bahkan rumah pertama yang dikunjungi adalah rumahku. Benar-benar setelah tiba di bandara menuju ke rumah.

Hari ini aku ambil cuti. Sejak berlangsungnya proses ini, aku lupa berapa kali aku ambil cuti. Saat ta'aruf, saat mencari gedung, dan hari ini. Mungkin itu. Atau bahkan ada lagi yang aku lupa. Semoga teman-teman kantorku tidak curiga akan keintensan aku mengambil cuti. Pun aku bersyukur bisa bekerja di tempat kerjaku yang sekarang. Sejak keputusan dari masing-masing kami untuk lanjut, aku sudah sibuk untuk mengurusi banyak hal terkait lamaran dan pernikahan nanti. Dan bahkan di jam-jam kerja. Karena jam kerja kantorku flexible, aku membagi waktuku paginya untuk mengurusi ini. Bahkan saat benar-benar menyita jam kerjaku sedangkan masih banyak task yang harus aku kerjakan, hari sabtu pun aku masuk ke kantor.



Pukul 12.30. Umi masih saja sibuk menyiapkan makan siang untuk kami semua. Aku hanya membantu melihat-lihat saja. Sembari mengobrol-ngobrol ringan dan menantikan makanan siap. Dia belum juga ada kabar. Jadi sulit dihubungi. Mungkin karena masih menggunakan nomor jepang yang harus bergantung dengan internet wifi jika menggunakan whatsapp. Selang beberapa menit kemudian dia datang. Kami satu rumah terkaget karena datangnya tak terduga. Di rumah ada aku, umi, dan abi. Abi belum lama juga tiba di rumah sehabis sholat jumat sebelum dia datang. Makanan pun masih belum siap. Padahal aku sudah sangat lapar.

Rabu, 03 Oktober 2018

Pulang

Setelah masing-masing berkomitmen untuk lanjut. Kami harus merencanakan dan mempersiapkan proses kedepannya. Ya, khitbah atau lamaran. Sedangkan saat itu kami masih terpaut jarak yang cukup jauh.


Pilihannya ketika itu ada dua. Pertama, saya hanya akan pulang saat menjelang hari H, dan sebelumnya keluarga saya akan ke Bekasi untuk melamarkan untuk saya. Atau pilihan kedua, saya akan pulang untuk melakukan proses lamaran, dan pulang kembali setelahnya untuk menjalankan pernikahan. Saat itu, karena kondisi saya waktu itu dan dinamika pertimbangan yang ada, saya sementara memilih pilihan yang pertama, walau saya sempat di awal menjanjikan akan pulang dalam waktu dekat untuk melamarnya.

Proses komunikasi antara kami mulai intens terjalin. Tak hanya dengannya, namun juga dengan ibu dan ayahnya. Justru saya lebih banyak melakukan komunikasi dengan ibunya.

Sabtu, 29 September 2018

Kehadiran Pertamamu

Apakah ta'aruf yang akan saya jalani kala itu akan terbatas dengan orang yang sebelumnya tak saya kenal?

Saya rasa tidak. Saat itu saya bisa saja menjalani proses ini dengan orang yang sebelumnya sudah saya kenal, karena esensinya adalah pada proses pengenalannya, bukan? Jika saya sudah mengenalnya sebelumnya, mungkin justru lebih baik. Kemudian tinggal melanjutkan tahapan pengenalan secara lebih mendalam dalam koridor yang lebih syar'i dan berorientasi pada pernikahan.




Banyak orang yang hanya membatasi proses ta'aruf hanyalah dengan orang yang tidak saling kenal sebelumnya atau hanya dengan cara bertukar biodata saja. Banyak orang yang mungkin memilih untuk mundur jika harus menjalani proses setiba-tiba itu. Mungkin itu wajar. Apalagi bagi mereka yang punya segudang kriteria dan keinginan akan seperti apa pasangan yang kelak akan menemaninya di sisa hidupnya, dan dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengenalnya. Namun, untuk saya pribadi, mungkin sedikit berbeda. Sedari awal memang sudah saya niatkan untuk menjemput jodoh dengan cara yang baik dan percaya sepenuhnya pada Allah. Itulah yang membuat kriteria saya kemudian tak muluk-muluk, dan sesuai standar minimal yang telah disebutkan rasulullah salallahualaihiwassalam, yakni karena agamanya. Umum bukan? Iya, memang. Tapi menurut saya itu pondasi utamanya sebelum melihat kecocokan lainnya dari segi fisik, keluarga, pendidikan, karakter kepribadiannya dan lainnya. Saya akan melihat itu saat proses nantinya. Saya percaya jika dari awal sudah diawali dengan niat yang baik, insyaAllah semua proses akan dimudahkan. Saya juga berusaha untuk tetap bisa menggunakan pertimbangan terbaik saya, bukan hanya mengikuti alur saja dan merasa sungkan jika tidak lanjut.

Kenapa Ta'aruf (2)


Hingga waktu itu datang. Saya diberi jalan oleh Allah untuk menjalankan ta'aruf.
Sempat terbersit pertanyaan: Yakin nih bener-bener ta'aruf? Bagaimana bisa saya menikah dengan seseorang yang (bisa jadi) baru saja saya kenal?


Saat itu, qodarullah Allah menunjukkan jalan lain kepada saya. Tanpa adanya pengharapan sebelumnya, seorang kerabat menanyakan kepada saya akan apakah saya bersedia menjalani ta'aruf. Saat itu saya harus dihadapkan pada salah satu pilihan terbesar dalam hidup saya.
Sebenarnya itu bukan kali pertama. Sebelumnya saya beberapa kali juga ditanya terkait hal itu. Namun saat itu dengan singkat saya langsung menolaknya. Hingga, saya kembali mendapatkan tawaran itu di kondisi yang sangat berbeda dari sebelumnya. Kondisi yang membuat saya tak dengan cepat menolaknya. Saya putuskan untuk mempertimbangkan, dan mengistikhorohkannya terlebih dahulu.

Senin, 24 September 2018

Kenapa Ta'aruf (1)

Perjalanan dan pengalaman selama ini, menuntun saya untuk sedikit demi sedikit mengalami perubahan, tentunya dalam upaya menuju pribadi yang lebih baik. Berbagai pembelajaran yang saya dapat selama ini, memberikan clue kepada saya, jalan dan pilihan mana yang baik untuk saya, salah satunya adalah pilihan bagaimana saya menjemput jodoh.


Saya tumbuh dalam lingkungan 'umum' selama masa kanak-kanak hingga remaja. Preferensi karakter dan pola pikir sebagian besar saya serap dari keluarga khususnya, lingkungan dan proses belajar mengajar formal di sekolah. Pengetahuan ilmu agama, banyak saya dapatkan saat masa kanak-kanak khususnya tentang baca Qur'an, serta di bangku sekolah yang notabene berdasarkan standar kurikulum sekolah negeri pada umumnya. Hingga pertengahan masa SMA, saya mulai mengenal belajar agama dan berkesempatan dikumpulkan bersama orang-orang baik di organisasi.

Selasa, 11 September 2018

Terima Kasih Karena Mau Pulang!


Bagiku, menjalani ta'aruf merupakan hal yang tak dapat aku terima. Meskipun seiring berjalannya waktu, hatiku dapat melunak sehingga dapat menerima jalan ta'aruf. Namun tiada disangka ada hal yang tak masuk akal lainnya yang harus aku jalani. Dia akan datang ke Indonesia beberapa hari sebelum berlangsungnya akad nikah. Meskipun ada beberapa kisah nyata dari orang lain yang benar menikah dengan kondisi seperti yang akan aku hadapi, tetapi aku berbeda. Aku tak bisa disamakan dengan mereka. Aku baru saja menerima hal yang selama ini aku sangkal. Dan aku harus menerima hal lain yang lebih tidak masuk akal menurutku. Aku termasuk pribadi yang introvert. Aku saja masih sangat khawatir akan menikah dengan orang yang baru saja aku kenal. Dan aku harus menerima kenyataan bahwa aku baru dipertemukan langsung dengan dirinya sesaat beberapa hari menjelang pernikahan. Aku lebih memilih mundur jika aku tetap dipaksa menerima kenyataan itu.

Namun saat itu dia menjanjikan akan pulang ke Indonesia dua kali. Kali pertama saat melamarku dan kali kedua saat akan menikah. Tetapi janji manis itu tak bertahan lama. Berbagai alasan dia berikan untuk mempertahankan rencana kepulangannya yang hanya satu kali saja. Yaitu saat akan menikah. Ya bagiku itu hanya sebuah 'alasan'. Aku tetap tidak dapat menerima alasan-alasan itu. Bukannya aku tidak mengerti kondisinya, tetapi karena secara psikologis aku benar-benar tidak siap jika harus berlaku demikian. Tangis seakan menjadi teman baik dalam melalui jalan yang sulit ini. Aku berkali-kali bercerita pada Fulanah bahwa aku tidak siap. Pikirku dengan alasan-alasan yang dia berikan, akan ada jalan yang masih bisa diperjuangkan. Hingga akhirnya dia benar-benar akan mengusahakan pulang dua kali. Fulanah bilang padaku, jika dia akan mengusahakan yang terbaik untukku. Alhamdulillah dia akan pulang oktober ini untuk melamarku. Aku merasa aku orang yang egois saat itu. Aku hanya mementingkan apa yang aku rasa saja tanpa tahu beban apa yang sedang dia pikul saat itu. Mungkin sangat amat banyak pertimbangan yang dia pikirkan untuk tidak pulang dua kali. Tetapi aku sangat bersyukur dia akan mengusahakan pulang. Sejak dia tinggal di Jepang oktober tahun lalu, dia tak pernah pulang ke Indonesia bahkan saat lebaran idhul fitri pun tidak. Dan kali ini dia akan pulang ke Indonesia karena aku yang meminta. Rasa syukur dan terima kasih padanya sepertinya tak cukup untuk membalas perjuangannya. Semoga Allah meridhoi jalan ini agar kita tetap terus berlanjut hingga ijab qabul terucap.

Ditulis oleh Tazkia Izzati

Jumat, 17 Agustus 2018

Melihat & Berbicara Denganmu


Lelah masih sangat terasa. Setelah dua hari penuh melakukan pendakian gunung fuji naik dan turun tanpa istirahat tidur, saya harus segera kembali ke sendai naik bus malam. Alhamdulillah di perjalanan bis  itu saya bisa istirahat, sebelum pagi-pagi besoknya saya harus menjalani proses ta'aruf jarak jauh melalui video call.

Sesampainya di Sendai pukul 6 pagi, mata masih terasa sangat mengantuk dan kepala cukup berat. Serasa ingin tidur kembali. Namun saya harus segera bersiap dan mandi. Sebelum jam 9 saya harus sudah siap.

Waktunya pun tiba. Video call baru bisa dimulai setelah sekitar 15 menit dari yang dijadwalkan. Video call pun tersambung. Yang saya lihat pertama kali adalah ayahnya, dan kemudian menyusul ibunya. Dia belum tampak. Katanya masih siap-siap.

Mengapa Terus Berlanjut?


16 Agustus 2018

Malam tanggal 15 Agustus aku baru tiba di rumah. Karena perjalanan jauh dari Kemang ke Bekasi yang sungguh melelahkan seperti biasanya, membuatku melanjutkan kembali tidurku setelah sholat shubuh usai. Aku baru bangun kembali jam 06.00. Aku hanya punya waktu satu jam untuk dapat bersiap, karena pukul 07.00 ta'aruf akan dimulai. Saat itu, aku masih setengah hati melakukan ta'aruf. Perasaan yakin masih tetap ada. Tetapi setengah hati. Jika aku benar-benar serius, seharusnya aku tidak melanjutkan tidur setelah sholat shubuh dan segera bersiap. Waktu satu jam sangat tidak cukup buatku untuk dapat bersiap. Bahkan hingga jam 07.00 tiba, masih belum dimulai. Padahal dari mereka sudah bersiap dari sebelum jam 07.00. Adik ku saja sampai geregetan karena aku lama dalam bersiap. Hingga akhirnya abiku memulai terlebih dahulu percakapan dengan mereka.

Pada pukul 07.30 akhirnya aku sudah rapih. Lagi-lagi aku masih merasa asing dengan proses ta'aruf itu. Aku ragu. Tetap lanjut atau tidak?

Karena dia saat itu berada di Jepang, proses ta'aruf dilakukan melalui google hangout. Satu bukti ketidakseriusanku yang lain pada proses ta'aruf ini adalah aku tidak mempersiapkan kuota pada modemku. Akan berbicara melalui google hangout selama kurang lebih dua jam membutuhkan koneksi internet yang stabil. Sehingga pada akhirnya aku menggunakan modem milik adikku.

Saat itu di rumahku, ada aku, orang tuaku, dan kedua adikku, Mutia dan Farah. Satu adikku yang paling kecil sedang sekolah. Sebelum hari itu tiba, aku sempat khawatir mengenai tempat yang nyaman buatku untuk dapat berta'aruf. Aku memiliki 3 adik perempuan. Sejak adik-adikku tahu aku akan berta'aruf, mereka tidak henti-hentinya meledekku. Hingga aku menegaskan berkali-kali kalau aku tidak akan melakukan ta'aruf di rumah dimana ada kehadiran adik-adikku. Aku lebih memilih tempat yang sangat jauh dari kehadiran mereka. Karena bisa jadi aku menjadi tidak fokus dalam berbicara dan dalam menyampaikan setiap pertanyaan. Karena adikku yang bungsu tidak dapat menyaksikan proses ta'aruf ini, Farah akhirnya berinisiatif mendokumentasikan pertemuan ini melalui video di handphonenya. Perasaan tegang, ragu, kesal, campur aduk tak karuan dalam hatiku. Aku pasrah saja.

Aku ditemani kedua orang tuaku, sedangkan dia ditemani oleh Fulanah dan suami Fulanah. Sudah siap dalam genggamanku, buku catatan yang memuat daftar pertanyaan yang akan aku tanyakan padanya. Aku membuka kembali buku catatan itu. Membaca kembali setiap detail pertanyaan yang akan aku tanyakan. Proses ta'aruf dimulai dengan bacaan tilawah qur'an yang dibacakan oleh dirinya. Proses ini dimoderatori oleh suami Fulanah. Aku masih saja sibuk mengingat-ingat pertanyaan yang akan aku tanyakan. Sehingga aku tidak begitu fokus pada saat suami Fulanah membuka acara pertemuan ini dan menyampaikan maksudnya. Perkenalan dimulai dari dirinya terlebih dahulu. Setelah itu perkenalan dariku. Apa yang aku sampaikan dan dirinya sampaikan kurang lebih tidak jauh beda dengan apa yang tertulis di CV. Hanya mereview saja. Hingga tiba saatnya sesi tanya jawab dimulai. Pada dasarnya aku memiliki ribuan pertanyaan yang ingin aku sampaikan padanya. Tapi pada akhirnya hanya satu pertanyaan saja yang berhasil diutarakan. Diapun demikian. Dia hanya memberiku satu pertanyaan. Selebihnya kami lebih ke arah diskusi. Abiku sangat mendominasi dalam berbicara pada pertemuan hari itu. Beliau menyampaikan nasihat-nasihatnya pada kami. Alasan aku tidak menyampaikan pertanyaan-pertanyaan lain mungkin karena didukung ketidaknyamanan posisiku saat itu.

Pukul 08.30 pertemuan ini selesai. Aku dan dia kembali dihadapkan pada pilihan untuk melanjutkan ke tahap berikutnya atau tidak. Dari orang tuaku sudah sangat setuju. Sedangkan aku, aku masih berdasar pada rasa yakin untuk tetap lanjut saja. Rasa tenang dan yakin. Yakin bahwa semuanya akan baik-baik saja. Yakin akan melangkah ke tahap berikutnya. Meskipun jutaan pertanyaanku padanya masih turut serta membayangiku. Selang beberapa jam kemudian, dia mengkonfirmasi bahwa dia ingin lanjut ke tahap selanjutnya. Mungkin karena dorongan dari nasihat abiku yang menyampaikan bahwa baiknya proses ini tidak berjalan lama. Semakin cepat, semakin baik. Pikirnya begitu. Kenyataan ini semakin sulit diterima oleh akal sehatku. Aku yang semula sangat menyangkal ta'aruf, tapi saat ini sudah melangkah terlalu jauh dan merasa sebegitu tenang dan yakin saja. Bismillah.

Ditulis oleh Tazkia Izzati

Jumat, 10 Agustus 2018

Jalan Allah

Beberapa waktu lalu, saya sempat cukup intens terlibat diskusi bersama kawan saya yang lebih senior dan sudah berkeluarga. Saya beberapa kali terlibat dalam obrolan-obrolan ringan tentang keluarga, seperti tentang peran seorang kepala kelurga, tentang pemilihan keputusan pernikahan, wawasan-wawasan penting ketika sudah berkeluarga, dan banyak hal lainnya. Saya menyerap ilmu yang cukup banyak dari mereka. Saya ingin mengaplikasikannya suatu saat nanti, entah kapan waktunya. Mendengar cerita-cerita mereka adalah salah satu bagian penting pembelajaran saya di sini. Hasil dari pembelajaran itu pula yang kemudian menjadi bahan pertimbangan menentukan rencana saya kedepan yang belum terjawab selama itu.


Saya tak memungkiri bahwa lingkungan sekitar akan mempengaruhi perilaku-perilaku dan pola pikir kita, sedikit atau banyak. Bersamaan dengan telah adanya keyakinan diri dan segala pengalaman yang telah didapat di masa lampau, kita akan mampu mengolah pembelajaran-pembelajaran hasil kebaikan dari lingkungan baru tersebut menjadi suatu pilihan sikap dan karakter diri yang lebih baik kedepannya. Karena memang fitrah kita untuk menjadi seorang pembelajar dalam hidup ini.

Rabu, 08 Agustus 2018

Sebelum Pilihan (2)


Sebelum berangkat ke jepang, saya belum memiliki keyakinan yang mantap akan salah satu rencana hidup saya. Ya, tentang rencana pernikahan. Hingga akhirnya berakhir pada kesimpulan yang mengambang, alias tak mempunyai rencana yang jelas untuk satu hal itu. Tiga bulan menjelang keberangkatan, saya memutuskan untuk mengakhiri kontrak kerja dan tinggal bersama keluarga di Ngawi sebelum berangkat, tidak lain hanya untuk mengamankan waktu bersama keluarga sebelum berangkat. Di jeda waktu tersebut, saya memiliki kesempatan yang lebih untuk berbincang bersama orang tua khususnya ibu, tentang banyak hal. Mulai dari hal sederhana, hingga hal yang lebih serius. Tak luput dari topik obrolan adalah obrolan tentang rencana pernikahan, yang notabene sangat jarang kami bicarakan di rumah. Kami memang sangat jarang membicarakan topik tersebut dalam obrolan-obrolan empat mata maupun obrolan keluarga. Namun justru di momen itu saya tiba-tiba penasaran akan pendapat Ibu tentang rencana pernikahan anaknya. Saya pikir pasti akan menjadi menarik.

Dalam beberapa kali kesempatan, jawaban ibu mengarah kepada satu hal, yakni kecenderungan pada keinginan bahwa sebaiknya saya menikah nanti-nanti saja, setelah sekitar umur 26 atau 27 tahun, atau bahkan setelah saya menuntaskan studi PhD saya nantinya. Bagi ibu, itu lebih baik.

Sejujurnya saya sudah sangat paham alasan ibu. Mungkin sebagian orang tua juga menginginkan hal yang sama, menginkan waktu yang lebih lama dengan anaknya yang masih belum mempunyai keluarga. Iya, hanya dengan anaknya. Dengan menjadi anak terakhir, mungkin alasan itu menjadi salah satu alasan terkuat Ibu saya. Menurut saya hal tersebut sangat wajar dan naluriah. Orang tua yang telah menghabiskan waktu bertahun-tahun lamanya untuk membesarkan dan mendidik anaknya, pasti ada terbersit keinginan untuk mengunduh hasil dari proses yang lama dan butuh pengorbanan tersebut, dalam bentuk apapun yang berbeda-beda. Dalam hal ini, ada sebagian keinginan Ibu untuk mengunduh sebagian hasil perkembangan anaknya dalam bentuk sebuah bakti. Bukan berharap, tapi lebih pada keinginan kecil seorang ibu yang jujur, sebagai bentuk kasih sayangnya kepada anaknya dan sebaliknya. Saya paham dan saya mengerti.

Saat itu saya tak kaget dan puas mendapatkan apapun jawaban dari ibu. Memang jawaban itu sudah saya pahami selama itu, karena saya sangat mengenal ibu. Alasan apa pun juga sudah saya mengerti, kalaupun ibu tak mengutarakannya.

Sekitar dua bulan berselang -mendekati waktu-waktu keberangkatan saya, saya mengambil beberapa langkah penting untuk menegaskan rencana kedepan saya yang tak ada kejelasan. Saya merasa waktu itu adalah waktu yang tepat untuk melakukan sesuatu untuk rencana saya. Pada akhirnya keputusan saya tak persis sama dengan yang sempat diutarakan ibu sebelumnya. Yakni terkait waktu, setahun atau dua tahun lebih cepat dari itu.  Namun pada akhirnya, ibu saya tetaplah ibu saya. Ibu yang pada dasarnya tak pernah memaksakan kehendak kepada anaknya. Semenjak obrolan kala itu, kami semakin intens terlibat dalam obrolan-obrolan singkat dan santai tentang rencana-rencana jangka pendek. Tak terlalu serius, tapi cukup berbobot. Akhirnya ibu tak terlalu bermasalah dengan keputusan saya. Saya pun sebenarnya juga tak mau terlalu bersikeras. Justru pada akhirnya kami sama-sama saling ulur. Namun, waktu terus berjalan dan keputusan pun tetap diambil.

 Saat itu, saya berpikir bahwa sebelum berangkat, setidaknya ada yang bisa lakukan suatu hal yang mendukung rencana saya tersebut, yang tak bisa saya lakukan ketika sudah di Jepang. Menurut saya waktu-waktu tersebut cukup kritis bagi saya, dalam konteks rencana saya saat itu. Hingga, setelah sempat berdiskusi dengan keluarga, sebelum berangkat ke Jepang saya berencana untuk bersilaturahim kepada sebuah keluarga, khususnya orang tua seseorang yang sebelumnya sudah saya kenal. Ini kaitannya dengan itikat baik seseorang yang akan mendatangi orang tua seseorang untuk menyampaikan sebuah maksud. Saya berharap setelah adanya silaturahim tersebut kemudian terbuka pintu yang lebih lebar lagi untuk sampai pada maksud yang utama. Ibu dan bapak sudah setuju. Dan menariknya tak ada sedikitpun objeksi dari mereka.

Namun akhirnya, Qodarullah, akhirnya kunjungan saya berakhir menjadi sebatas kunjungan biasa, tak meninggalkan kesimpulan apa-apa setelahnya. Mengambang. Hingga akhirnya, kemudian beberapa hari setelahnya saya berangkat ke Jepang meninggalkan satu tanda tanya dan ketidak jelasan dari niatan yang sempat akan dijalankan.

Setelah saat itu saya memutuskan kembali untuk menutup sementara niatan tersebut sampai waktu yang tak ditentukan, dan fokus pada apa yang akan saya jalani di Jepang, ya, untuk sekolah. Orang tua sendiri menegaskan jika sebaiknya saya fokus saja pada pendidikan saya saat ini, tak perlu memikirkan yang lain-lain. Saya pun juga sudah mengatur fokus saya. Ibu pasti akan lebih lega dan bahagia jika saya bisa fokus pada studi saya. Sejak saat itu saya mencoba melupakan rencana itu.

Beberapa bulan berlalu, saya sudah bisa menjalani proses adaptasi dengan baik. Saya menikmati kondisi di lingkungan baru bersama keluarga baru di sini.

Ditulis oleh Vempi Satriya

Sebelum Pilihan (1)


Tinggal dan bersekolah di luar negeri adalah sebuah pilihan yang saya ambil sekian tahun lalu. Dengan berbekal tekat dan niat yang kuat untuk bersekolah tingkat lanjut dan mencari pengalaman sebanyak-banyaknya di negeri orang, akhirnya saat itu Allah benar-benar memberikan jalan kepada saya untuk mencapai tujuan itu, alhamdulillah. Saya diberi kesempatan untuk dapat bersekolah di Jepang. Pilihan-pilihan itu membawa saya ada pada kondisi saat ini -melanjutkan tren sejak saat menjadi mahasiswa baru S1 kala itu, tinggal jauh dari orang tua dan kembali menjadi perantauan. Hanya saja yang saat ini lebih jauh lagi. Bahkan sangat jauh.

Orang tua selalu mendukung pilihan-pilihan yang hendak saya ambil. Mereka sangat jarang sekali menyanggah atau melarang pilihan saya, khususnya terkait dengan akademik dan karir saya kedepan. Tapi menariknya, mereka, khususnya ibu, kadang tak tahu detil pilihan saya. Seperti halnya apa sebenarnya jurusan saat ini yang saya ambil, atau, apa detil pekerjaan yang sempat saya kerjakan saat bekerja kontrak di salah satu konsultan di kota Bandung. Itu bukan karena mereka tidak peduli, tapi karena menurut mereka hal-hal itu jika dipahami terlalu kompleks dan mereka memilih untuk tahu dasar-dasarnya saja. Pun terkait bidang keilmuan saya, mereka juga masih cukup awam. Namun lepas dari itu, orang tua saya cukup percaya kepada pilihan anaknya sepenuhnya. Semua anak seharusnya merasakan hal yang sama, bagaimana orang tua selalui menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya, walaupun dengan cara yang bermacam-macam pastinya.

Tinggal jauh dari orang tua tak sepantasnya lalu kita juga menjadi jauh dari mereka. Selama tinggal di sini, komunikasi saya dengan orang tua alhamdulillah sangatlah lancar, bahkan serasa tak tinggal berjauhan dengan mereka. Dengan adanya teknologi komunikasi seperti sekarang, kami bisa dengan mudah bertatap muka satu sama lain melalui layar handphone. Itu sudah lebih dari cukup untuk menghadirkan mereka dalam aktivitas-aktivitas kita di perantauan. Itu pula yang membuat saya masih nyaman tinggal di negeri ini, sejauh saya bisa merawat tali ikatan itu.

Setelah beberapa bulan tinggal di sini, saya menemukan banyak hal baru di sini. Tak perlu jauh-jauh. Saya temukan banyak sesuatu baru saya temui dalam diri saya sendiri. Dengan pola keseharian yang menyediakan banyak ruang berpikir untuk diri sendiri, membuat saya mempunyai kesempatan lebih luas untuk melakukan observasi terhadap diri saya sendiri. Tak seperti di Indonesia, dimana saya lebih banyak menghabiskan waktu dalam keramaian. Namun bukan berarti saya terbatasi atau membatasi diri untuk bertemu orang, lebih pada keinginan untuk mengatur tempo dan menambah porsi waktu untuk diri saya sendiri yang dulu sangat sulit saya dapatkan saat masa-masa sebelumnya. Dari ruang-ruang sendiri yang lebih luas itu, beberapa keinginan-keinginan yang dulu tak terlihat kini mulai terkuak.

Beberapa diantaranya adalah tentang pilihan hidup kedepan. Pilihan-pilihan yang sempat terbengkalai perencaannya mulai bisa tertata kembali sedikit demi sedikit, secara perlahan. Keputusan-keputusan yang menggantung sejak lama, saat itu mulai bisa dipastikan untuk segera ditegaskan.

Salah satu yang terkuak kembali adalah pilihan tentang jodoh.

Ditulis oleh Vempi Satriya

Dengan Jalan Apa Aku Menjemput Jodohku?



Menjadi sebuah dilema besar bagiku saat aku dihadapkan pada beberapa jalan dalam menjemput jodohku. Aku tak mungkin seperti mereka yang bisa berpacaran yang kemudian menikah. Terlalu banyak aktivitas asing pada gaya berpacaran kebanyakan orang yang sangat tidak mungkin aku lakukan. Belum lagi akan sangat banyak pihak yang menentang. Kedua orang tuaku dan Allah. Menikah adalah ibadah. Tak mungkin jalan menuju penggenapan separuh agamaku dilalui dengan jalan yang tidak diridhoi Allah dan kedua orang tuaku. Aku akan mencari jalan lain selain berpacaran.

Menikah dengan teman dalam satu lingkungan. Teman satu sekolah atau teman kantor. Tetapi tetap tidak dengan jalan pacaran. Hanya sekedar dekat, cocok, kemudian satu sama lain saling berkomitmen untuk berjalan pada tahap yang lebih serius. Pikirku hanya ini satu-satunya jalan yang mungkin dapat aku pilih. Kemudian aku berpikir kembali. Sejak aku bersekolah SMA, kemudian melanjutkan kuliah, dan lalu bekerja, aku berada pada lingkungan pertemanan yang sangat beragam. Beragam dalam artian agama dan kepercayaan. Tidak seperti saat aku bersekolah di bangku SD dan SMP yang jelas sekolah islam terpadu. Memang banyak yang beragama islam, tetapi sangat jarang yang memiliki pemahaman yang sama sepertiku. Ya. Pemahaman bahwa tak perlu berpacaran jika ingin menikah. Kriteria lain yang aku harapkan adalah setidaknya mereka rajin sholat di awal waktu. Tetapi hal ini sangat jarang aku temukan pada teman-teman kantorku. Bahkan ada satu kriteria yang menjadi syarat mutlak dari orang tuaku. Mereka rutin mengaji setiap minggunya. Aku memang melonggarkan syarat mutlak dari orang tuaku ini. Pikirku jika mereka belum mengaji, mungkin aku bisa mengajaknya. Tetapi ini akan menjadi sebuah PR besar bagiku dalam berumah tangga nanti. Aku teringat pada pesan yang disampaikan oleh salah satu pembicara pada sekolah pra nikah yang aku ikuti beberapa bulan yang lalu. Beliau bilang bahwa sebelum menikah jangan membawa PR. PR akan memperbaiki pasangan agar menjadi seperti yang kita harapkan. Karena setelah menikah akan ada PR-PR lain yang bersiap menanti. Tetapi tetap ridho berada pada kedua orang tuaku. Aku terlalu khawatir jika orang tuaku akan menolak saat orang itu datang melamarku.

Hingga detik itu, aku sangat menolak keras jika aku harus melalui jalan ta'aruf dalam menjemput jodohku. Aku terlalu takut dan khawatir akan hidup bersama dengan orang yang aku baru kenal. Selama itu memang ada beberapa CV yang singgah, tetapi aku benar-benar tidak serius menanggapinya. Aku hanya menghargai guru ngaji dan orang tuaku saja, yang sudah berusaha mempertemukan aku dengan calon orang yang akan mendampingi hidupku. Ya. Semua CV aku tolak. Pertama memang karena mereka tak sesuai dengan kriteriaku. Kedua karena aku sangat menolak keras proses ta'aruf itu. Sepertinya alasan tidak sesuai kriteria hanya alasan yang dibuat-buat agar prosesnya tidak jadi berjalan. Pintu hatiku sudah tertutup rapat-rapat jika jalan yang dipilih adalah dengan berta'aruf.

Kemudian jalan apa yang harus aku pilih? Mengingat usiaku yang semakin hari semakin bertambah. Ditambah tahun ini adalah targetku menikah. Rasa khawatir itu selalu saja menghantui keseharianku saat itu. Ditambah pula proses move on yang tak berkesudahan yang membuat aku semakin gerah dan semakin khawatir. Aku benar-benar dalam posisi pasrah pada Tuhan. Aku bingung. Aku akan menerima apapun jalan yang Allah pilihkan untukku. Ya. Sejak saat itu aku tak pernah berhenti melakukan sholat tahajud setiap malam. Aku merunduk dan berdoa tiada hentinya. Meminta pada Allah agar aku segera dipertemukan dengan jodohku sesuai dengan yang Allah ridhoi. Tak luput pula membaca tilawah al-quran yang menjadi hal yang dapat memperkuat terkabulnya doaku. Kurang lebih satu hingga dua bulan aku tak pernah berhenti sholat tahajud dan rutin membaca qur'an. Hingga suatu hari itu tiba. Hari dimana aku mengetuk semua pintu. Aku berusaha untuk bisa menerima jalan ta'aruf. Aku pasrah. Aku meminta seorang teman kantorku (yang sudah menikah terlebih dahulu) untuk mencarikan. Aku percaya padanya karena kita masih dalam satu pemahaman. Aku meminta orang tuaku untuk berupaya pula mencarikan. Saat itu, orang tuaku meminta bantuan temannya, yang merupakan guru ngajiku dulu saat masih di Indonesia. Teman orang tuaku saat itu sedang tinggal di Jepang untuk bersekolah.

7 Agustus 2018

Aku diminta teman orang tuaku, sebut saja Fulanah, untuk dapat mengirimkan CVku. Fulanah bilang, teman kampus suaminya juga sedang dalam proses mencari. Aku sempat menunda dalam proses pengiriman CVku. Karena aku belum memperbaharui CVku, sehingga pada akhirnya aku menggunakan CV yang aku tulis april lalu. Tetapi tetap tidak jauh beda. Pagi itu, Fulanah mengirimkan CV seseorang padaku. Aku tidak langsung membacanya. Aku sudah berprasangka buruk terlebih dahulu. Aku kembali menyiapkan alasan-alasan untuk menolak kembali karena tidak sesuai kriteriaku. Padahal saat itu aku juga bingung pada diriku sendiri. Mau sampai kapan aku bisa menemukan orang yang sesuai dengan kriteriaku. Sangat mustahil! Buah dari aku rajin sholat dan mengaji belakangan, sesaat melunakkan hati dan semua pemikiran-pemikiran burukku. Aku pasrah. Aku membaca perlahan setiap detail informasi yang tertulis pada CVnya. Pun juga melihat foto dirinya. Saat itu aku merasa aku adalah orang yang paling jahat dan betapa baiknya Allah padaku. Allah sangat baik padaku. Kriteria dan rencana masa depanku yang aku impikan ada pada dirinya. Rasanya dada sesak sesaat. Ini tidak mungkin. Spontan aku berkata iya dalam hatiku. Fulanah meminta berapa lama aku dapat memberikan jawaban. Aku meminta satu minggu. Padahal dalam hati sudah auto yes menerima. Tetapi biarkan waktu yang menjawab selama satu minggu dalam memperkuat jawaban iya. Selang beberapa hari kemudian, aku terpancing dalam percakapan antara Fulanah dan aku yang secara tidak langsung aku menjawab iya. Dari orang tuaku juga sudah sangat setuju. Kemudian Fulanah meminta agar dapat melanjutkan ke tahap ta'aruf. Aku bingung pada diriku sendiri. Saat itu perasaan yakin menguat dalam hati. Yakin untuk dapat melanjutkan ke tahap ta'aruf. Tahu benar jika sebelumnya aku sangat menolak keras proses ta'aruf ini. Rasa yakin terus mendorongku untuk menghilangkan pemikiran-pemikiran burukku. Mungkin ini buah dari aku dekat dengan Allah.

Ditulis oleh Tazkia Izzati