Pages

Rabu, 08 Agustus 2018

Sebelum Pilihan (2)


Sebelum berangkat ke jepang, saya belum memiliki keyakinan yang mantap akan salah satu rencana hidup saya. Ya, tentang rencana pernikahan. Hingga akhirnya berakhir pada kesimpulan yang mengambang, alias tak mempunyai rencana yang jelas untuk satu hal itu. Tiga bulan menjelang keberangkatan, saya memutuskan untuk mengakhiri kontrak kerja dan tinggal bersama keluarga di Ngawi sebelum berangkat, tidak lain hanya untuk mengamankan waktu bersama keluarga sebelum berangkat. Di jeda waktu tersebut, saya memiliki kesempatan yang lebih untuk berbincang bersama orang tua khususnya ibu, tentang banyak hal. Mulai dari hal sederhana, hingga hal yang lebih serius. Tak luput dari topik obrolan adalah obrolan tentang rencana pernikahan, yang notabene sangat jarang kami bicarakan di rumah. Kami memang sangat jarang membicarakan topik tersebut dalam obrolan-obrolan empat mata maupun obrolan keluarga. Namun justru di momen itu saya tiba-tiba penasaran akan pendapat Ibu tentang rencana pernikahan anaknya. Saya pikir pasti akan menjadi menarik.

Dalam beberapa kali kesempatan, jawaban ibu mengarah kepada satu hal, yakni kecenderungan pada keinginan bahwa sebaiknya saya menikah nanti-nanti saja, setelah sekitar umur 26 atau 27 tahun, atau bahkan setelah saya menuntaskan studi PhD saya nantinya. Bagi ibu, itu lebih baik.

Sejujurnya saya sudah sangat paham alasan ibu. Mungkin sebagian orang tua juga menginginkan hal yang sama, menginkan waktu yang lebih lama dengan anaknya yang masih belum mempunyai keluarga. Iya, hanya dengan anaknya. Dengan menjadi anak terakhir, mungkin alasan itu menjadi salah satu alasan terkuat Ibu saya. Menurut saya hal tersebut sangat wajar dan naluriah. Orang tua yang telah menghabiskan waktu bertahun-tahun lamanya untuk membesarkan dan mendidik anaknya, pasti ada terbersit keinginan untuk mengunduh hasil dari proses yang lama dan butuh pengorbanan tersebut, dalam bentuk apapun yang berbeda-beda. Dalam hal ini, ada sebagian keinginan Ibu untuk mengunduh sebagian hasil perkembangan anaknya dalam bentuk sebuah bakti. Bukan berharap, tapi lebih pada keinginan kecil seorang ibu yang jujur, sebagai bentuk kasih sayangnya kepada anaknya dan sebaliknya. Saya paham dan saya mengerti.

Saat itu saya tak kaget dan puas mendapatkan apapun jawaban dari ibu. Memang jawaban itu sudah saya pahami selama itu, karena saya sangat mengenal ibu. Alasan apa pun juga sudah saya mengerti, kalaupun ibu tak mengutarakannya.

Sekitar dua bulan berselang -mendekati waktu-waktu keberangkatan saya, saya mengambil beberapa langkah penting untuk menegaskan rencana kedepan saya yang tak ada kejelasan. Saya merasa waktu itu adalah waktu yang tepat untuk melakukan sesuatu untuk rencana saya. Pada akhirnya keputusan saya tak persis sama dengan yang sempat diutarakan ibu sebelumnya. Yakni terkait waktu, setahun atau dua tahun lebih cepat dari itu.  Namun pada akhirnya, ibu saya tetaplah ibu saya. Ibu yang pada dasarnya tak pernah memaksakan kehendak kepada anaknya. Semenjak obrolan kala itu, kami semakin intens terlibat dalam obrolan-obrolan singkat dan santai tentang rencana-rencana jangka pendek. Tak terlalu serius, tapi cukup berbobot. Akhirnya ibu tak terlalu bermasalah dengan keputusan saya. Saya pun sebenarnya juga tak mau terlalu bersikeras. Justru pada akhirnya kami sama-sama saling ulur. Namun, waktu terus berjalan dan keputusan pun tetap diambil.

 Saat itu, saya berpikir bahwa sebelum berangkat, setidaknya ada yang bisa lakukan suatu hal yang mendukung rencana saya tersebut, yang tak bisa saya lakukan ketika sudah di Jepang. Menurut saya waktu-waktu tersebut cukup kritis bagi saya, dalam konteks rencana saya saat itu. Hingga, setelah sempat berdiskusi dengan keluarga, sebelum berangkat ke Jepang saya berencana untuk bersilaturahim kepada sebuah keluarga, khususnya orang tua seseorang yang sebelumnya sudah saya kenal. Ini kaitannya dengan itikat baik seseorang yang akan mendatangi orang tua seseorang untuk menyampaikan sebuah maksud. Saya berharap setelah adanya silaturahim tersebut kemudian terbuka pintu yang lebih lebar lagi untuk sampai pada maksud yang utama. Ibu dan bapak sudah setuju. Dan menariknya tak ada sedikitpun objeksi dari mereka.

Namun akhirnya, Qodarullah, akhirnya kunjungan saya berakhir menjadi sebatas kunjungan biasa, tak meninggalkan kesimpulan apa-apa setelahnya. Mengambang. Hingga akhirnya, kemudian beberapa hari setelahnya saya berangkat ke Jepang meninggalkan satu tanda tanya dan ketidak jelasan dari niatan yang sempat akan dijalankan.

Setelah saat itu saya memutuskan kembali untuk menutup sementara niatan tersebut sampai waktu yang tak ditentukan, dan fokus pada apa yang akan saya jalani di Jepang, ya, untuk sekolah. Orang tua sendiri menegaskan jika sebaiknya saya fokus saja pada pendidikan saya saat ini, tak perlu memikirkan yang lain-lain. Saya pun juga sudah mengatur fokus saya. Ibu pasti akan lebih lega dan bahagia jika saya bisa fokus pada studi saya. Sejak saat itu saya mencoba melupakan rencana itu.

Beberapa bulan berlalu, saya sudah bisa menjalani proses adaptasi dengan baik. Saya menikmati kondisi di lingkungan baru bersama keluarga baru di sini.

Ditulis oleh Vempi Satriya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar