Pages

Sabtu, 29 Agustus 2020

Proses kelahiran bayi pertama (bagian 2)


Saya hampiri ia yang masih terlihat merintih sakit. Respon Tazkia atas kehadiran saya masih sangat minim. Saya dekati ia dan saya bersamai dia dalam suasana yang sulit itu.

Beberapa saat setelah saya sampai di kamar bersalin dan mendampinginya, saya diminta untuk keluar sebentar karena perawat akan mengecek seberapa lebar bukaan. Menunggu di luar, saya berharap proses bukaan dilancarkan agar ia tak terlalu lama merasakan sakit yang seorang calon Ayah tak akan pernah merasakannya langsung. Setelah perawat keluar, mereka mengabarkan bahwa bukaan sudah selebar 7 cm. Saat itu sekitar pukul 4. 

Saya masuk dan mengabarkan kepada Tazkia. Saya mendampinginya kembali sembar menunggu proses bukaan yang akan berkembang dengan sendirinya. Beberapa kali Tazkia mengeluhkan sakit, dan saya mencoba memijit punggung dan pinggangnya. Ternyata saya harus menerima kenyataan bahwa saya tak seahli perawat dalam memijit. Beberapa kali istri dikecewakan dan membandingkan pijitan saya dengan perawat sebelum saya datang. Baiklah saya harus mencoba lebih keras.

Saat itu sudah pukul 4.40. Waktu subuh telah tiba. Itu artinya saya harus mulai mencari spot tempat sholat di ruangan yang penuh alat-alat canggih untuk persalinan. Saya memohon izin perawat untuk memakai space sempit dipojokan dekat pompa vakum untuk sholat, sekaligus meminta tolong perawat untuk mengawasi istri. Sayapun sholat beralaskan jaket. 

Di waktu tersebut pula, saya seharusnya sudah mulai berangkat ke kantor untuk bekerja pagi rutin,  setiap hari, mengedarkan koran-koran ke rumah-rumah. Pagi itu saya minta izin untuk tidak berangkat setelah mendapatkan kabar untuk segera berangkat ke rumah sakit. Karena hingga saat ini saya masih terbata-bata bahasa Jepang, saya berbicara ke orang kantor sesederhana mungkin, "Saya pergi ke rumah sakit". Saya yakin mereka mengira saya sakit, padahal saya harus berangkat ke rumah sakit untuk mendampingi persalinan istri dan anak kami yang pertama. Tapi sudahlah, itu tak terlalu penting. 

Setelah selesai sholat shubuh, saya kembali memijit dan sambil mengamati dengan serius layar alat pengukur fetal hearth rate dan uterus contraction bernama Cardiotocography yang ada di samping kiri kasur. Saya amati pergerakan ketika kontraksi menguat dan frekuensinya. Setiap nilai kontraksi naik, pasti bebarangan dengan rintihan sakit. Setelah beberapa saat, akhirnya, perawat mengecek kembali sudah berapa lebar bukaan. Kali ini saya tak harus keluar. Cukup melipir di samping saja. 

Bukaan telah meningkat. Kontraksi semakin sering dan nilainya cukup tinggi, hampir selalu di atas 50 mmHg. Tazkia semakin merasakan rasa sakit. Katanya ingin mengejan saja, tapi belum boleh. 
Para perawat sudah menyiapkan peralatan persalinan alas dan alat-alat seperti gunting yang nampak tajam.  Saya terus memijit dan mengelusnya, berusaha sebisa mungkin mengurangi beban sakitnya yang sebelumnya tak pernah ia rasakan. Tangan saya sudah seperti mau putus karena cengkramannya yang amat kuat. Hal terpenting yang harus saya lakukan saat itu adalah membantunya mengatur pernasapasan saat kontraksi datang. Bisa jadi, istri tak lagi bisa berpikir kapan harus menarik napas dan membuangnya, karena rasa sakit yang membuatnya tak lagi bisa tenang. Saya saat itu selalu melihat layar 'toco' (Cardiotocography) untuk memberi aba-aba ketika nilai uterus contraction sudah mulai naik, agar ia siap-siap untuk menarik napas. 

Waktu itu sekitar menjelang pukul 6, perawat menyatakan persalinan sudah bisa dimulai. Sekarang tugas terakhir saya dalam mendampinginya ditentukan di fase ini. Bagi Tazkia, ini mungkin adalah momen yang paling emosional sebelum benar-benar mendekap si jabang bayi. 

Pembukaan sudah lengkap, 10. Nilai kontraksi semakin kuat, seingat saya sudah di atas 75 mmHg dengan frekuensi sekitar setiap 1.5 - 2 menit. Saya yakin sakitnya pasti sudah sangat maksimal dan jarak antar sakitnya sudah semakin dekat. Perawat sudah memperbolehkan Istri mengejan, saya pun bersiap untuk memberinya aba-aba. Tak cukup memberi aba-aba, saya seperti ikut hanyut dalam suasana untuk ikut mengejan, bahkan mengeraskan suara 'ejanan' saya hingga Tazkia mengikutinya. Dalam kontraksi pertama, saya memberinya aba-aba untuk bersiap tarik napas. Hingga ketika mendekati puncak kontraksi ia dorong sekuat-kuatnya, namun nampaknya percobaan pertama kurang maksimal, dan nampaknya hanya mendapat satu kali ejanan. Giliran kesempatan kedua, kami mencoba lagi, dan tiba-tiba terdengar suara seperti massa air yang 'mberojol' keluar. Ternyata air ketubannya yang pecah. Kami yang saat itu fokus pada tarik napas dan ancang-ancang mengejan tidak tahu proses bayi keluar sampai mana. Apakah kepala sudah keluar atau belum kami tak tahu. Hingga percobaan ke-tiga nampaknya kepala bayi sudah keluar, dan kami semakin bersemangat untuk dorongan yang selanjutnya. 

Pada dorongan yang ke-empat, Alhamdulillah bayi akhirnya keluar dan menjerit menangis kencang, dan sontak Tazkia langsung menangis tersedu-sedu emosional. Saya pun juga tak bisa menahan rasa haru bahagia itu disampingnya. Kami menangis bahagia dan bersyukur. Waktu itu jam menunjukkan pukul 6.15 pagi, di tanggal kabisat yang datang hanya 4 tahun sekali, 29 Februari 2020.  Itu adalah momen yang bersejarah bagi kami, waktu kelahiran dedek bayi kami yang pertama. 

Tangisannya yang pertama kali, kami dengar dengan kencang. Perawat yang saat itu turut menghidupkan suasana bahagia, berulang kali mengatakan 'kawai' dan 'genki' yang artinya 'cute dan 'sehat' untuk memberi apresiasi kepada bayi, dan sang ibu yang telah berjuang keras. Kemudian si bayi diurus oleh perawat untuk di'treatment', kepalanya dibalik kebawah, dipasangi sesuatu di tangannya dan dipakaikan baju dari rumah sakit. Saat itu posisi si bayi bersama perawat ada di samping kiri tempat tidur, dimana kami berada. Hanya saya yang bisa sambil melihat bayi, sedangkan Tazkia masih belum bisa berhenti menangis dan mendapatkan perawatan oleh perawat di bagian bawahnya. 

Perawat mengatakan Tazkia harus mendapatkan perawatan tambahan karena luka yang cukup serius saat mendorong si Bayi. Beberapa menit setelahnya Dokter laki-laki dengan perawakan yang nampak masih muda datang untuk memberikan operasi kecil. Dia sampaikan operasi kemungkinan akan memakan waktu cukup lama, 1 jam. 

Bayi yang terus beberapa kali menangis menjadikan suasana hangat pagi itu. Saya masih fokus menemani Tazkia yang masih harus menjalani operasi kecil. Beberapa kali ia masih harus menahan sakit karena alat-alat bedah yang digunakan oleh dokter untuk membedah saluran keluar bayi. Kami yang waktu itu sudah percaya sepenuhnya kepada dokter untuk yang terbaik, hanya bisa menunggu proses itu selesai. Termasuk juga mendapati bahwa Tazkia tidak mendapatkan anestesi, sehingga pasti sakitnya bisa jadi lebih sakit dari proses persalinan itu sendiri. Itu kenapa saya tak bisa beranjak dari kursi saya sejak awal proses persalinan untuk mendampinginya dalam menahan rasa sakit yang kedua kalinya. Dan Tazkia belum bisa melihat apalagi mendekap bayi selama proses operasi tersebut. 

Setelah 1.5 jam, lebih lama dari perkiraan, akhirnya Tazkia selesai dioperasi. Dokter segera menjelaskan kepada saya, apa yang ia lakukan selama operasi. Intinya ada sisa luka dan daging yang terkelupas di dalam, dan akan keluar dengan sendirinya setelah sekitar seminggu. Proses recoveri Tazkia juga akan lebih lama dari biasanya.

Setelah penantian yang cukup lama, sekitar pukul 8.30 Tazkia bisa mendekap bayi, menyentuhnya langsung, dan memberinya susuan. Tapi nampaknya ASI belum keluar saat itu. 
Kami hanya punya waktu hingga sekitar pukul 13.00 untuk bersama, setelah itu saya harus meninggalkan rumah sakit karena peraturan. Beberapa jam di ruangan persalinan yang sama, hingga Tazkia yang tertidur karena kelelahan, dan melihat si bayi juga sangat pulas di samping kami, adalah momen yang tak terlupakan bagi saya sebagai seorang yang menyandang status sebagai Ayah baru. 

Alhamdulillah, saya sangat banyak bersyukur. Segala proses Engkau mudahkan, ya Allah.
Kami akhirnya bisa berkumpul bertiga bersama. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar