Pages

Jumat, 17 Agustus 2018

Melihat & Berbicara Denganmu


Lelah masih sangat terasa. Setelah dua hari penuh melakukan pendakian gunung fuji naik dan turun tanpa istirahat tidur, saya harus segera kembali ke sendai naik bus malam. Alhamdulillah di perjalanan bis  itu saya bisa istirahat, sebelum pagi-pagi besoknya saya harus menjalani proses ta'aruf jarak jauh melalui video call.

Sesampainya di Sendai pukul 6 pagi, mata masih terasa sangat mengantuk dan kepala cukup berat. Serasa ingin tidur kembali. Namun saya harus segera bersiap dan mandi. Sebelum jam 9 saya harus sudah siap.

Waktunya pun tiba. Video call baru bisa dimulai setelah sekitar 15 menit dari yang dijadwalkan. Video call pun tersambung. Yang saya lihat pertama kali adalah ayahnya, dan kemudian menyusul ibunya. Dia belum tampak. Katanya masih siap-siap.

Mengapa Terus Berlanjut?


16 Agustus 2018

Malam tanggal 15 Agustus aku baru tiba di rumah. Karena perjalanan jauh dari Kemang ke Bekasi yang sungguh melelahkan seperti biasanya, membuatku melanjutkan kembali tidurku setelah sholat shubuh usai. Aku baru bangun kembali jam 06.00. Aku hanya punya waktu satu jam untuk dapat bersiap, karena pukul 07.00 ta'aruf akan dimulai. Saat itu, aku masih setengah hati melakukan ta'aruf. Perasaan yakin masih tetap ada. Tetapi setengah hati. Jika aku benar-benar serius, seharusnya aku tidak melanjutkan tidur setelah sholat shubuh dan segera bersiap. Waktu satu jam sangat tidak cukup buatku untuk dapat bersiap. Bahkan hingga jam 07.00 tiba, masih belum dimulai. Padahal dari mereka sudah bersiap dari sebelum jam 07.00. Adik ku saja sampai geregetan karena aku lama dalam bersiap. Hingga akhirnya abiku memulai terlebih dahulu percakapan dengan mereka.

Pada pukul 07.30 akhirnya aku sudah rapih. Lagi-lagi aku masih merasa asing dengan proses ta'aruf itu. Aku ragu. Tetap lanjut atau tidak?

Karena dia saat itu berada di Jepang, proses ta'aruf dilakukan melalui google hangout. Satu bukti ketidakseriusanku yang lain pada proses ta'aruf ini adalah aku tidak mempersiapkan kuota pada modemku. Akan berbicara melalui google hangout selama kurang lebih dua jam membutuhkan koneksi internet yang stabil. Sehingga pada akhirnya aku menggunakan modem milik adikku.

Saat itu di rumahku, ada aku, orang tuaku, dan kedua adikku, Mutia dan Farah. Satu adikku yang paling kecil sedang sekolah. Sebelum hari itu tiba, aku sempat khawatir mengenai tempat yang nyaman buatku untuk dapat berta'aruf. Aku memiliki 3 adik perempuan. Sejak adik-adikku tahu aku akan berta'aruf, mereka tidak henti-hentinya meledekku. Hingga aku menegaskan berkali-kali kalau aku tidak akan melakukan ta'aruf di rumah dimana ada kehadiran adik-adikku. Aku lebih memilih tempat yang sangat jauh dari kehadiran mereka. Karena bisa jadi aku menjadi tidak fokus dalam berbicara dan dalam menyampaikan setiap pertanyaan. Karena adikku yang bungsu tidak dapat menyaksikan proses ta'aruf ini, Farah akhirnya berinisiatif mendokumentasikan pertemuan ini melalui video di handphonenya. Perasaan tegang, ragu, kesal, campur aduk tak karuan dalam hatiku. Aku pasrah saja.

Aku ditemani kedua orang tuaku, sedangkan dia ditemani oleh Fulanah dan suami Fulanah. Sudah siap dalam genggamanku, buku catatan yang memuat daftar pertanyaan yang akan aku tanyakan padanya. Aku membuka kembali buku catatan itu. Membaca kembali setiap detail pertanyaan yang akan aku tanyakan. Proses ta'aruf dimulai dengan bacaan tilawah qur'an yang dibacakan oleh dirinya. Proses ini dimoderatori oleh suami Fulanah. Aku masih saja sibuk mengingat-ingat pertanyaan yang akan aku tanyakan. Sehingga aku tidak begitu fokus pada saat suami Fulanah membuka acara pertemuan ini dan menyampaikan maksudnya. Perkenalan dimulai dari dirinya terlebih dahulu. Setelah itu perkenalan dariku. Apa yang aku sampaikan dan dirinya sampaikan kurang lebih tidak jauh beda dengan apa yang tertulis di CV. Hanya mereview saja. Hingga tiba saatnya sesi tanya jawab dimulai. Pada dasarnya aku memiliki ribuan pertanyaan yang ingin aku sampaikan padanya. Tapi pada akhirnya hanya satu pertanyaan saja yang berhasil diutarakan. Diapun demikian. Dia hanya memberiku satu pertanyaan. Selebihnya kami lebih ke arah diskusi. Abiku sangat mendominasi dalam berbicara pada pertemuan hari itu. Beliau menyampaikan nasihat-nasihatnya pada kami. Alasan aku tidak menyampaikan pertanyaan-pertanyaan lain mungkin karena didukung ketidaknyamanan posisiku saat itu.

Pukul 08.30 pertemuan ini selesai. Aku dan dia kembali dihadapkan pada pilihan untuk melanjutkan ke tahap berikutnya atau tidak. Dari orang tuaku sudah sangat setuju. Sedangkan aku, aku masih berdasar pada rasa yakin untuk tetap lanjut saja. Rasa tenang dan yakin. Yakin bahwa semuanya akan baik-baik saja. Yakin akan melangkah ke tahap berikutnya. Meskipun jutaan pertanyaanku padanya masih turut serta membayangiku. Selang beberapa jam kemudian, dia mengkonfirmasi bahwa dia ingin lanjut ke tahap selanjutnya. Mungkin karena dorongan dari nasihat abiku yang menyampaikan bahwa baiknya proses ini tidak berjalan lama. Semakin cepat, semakin baik. Pikirnya begitu. Kenyataan ini semakin sulit diterima oleh akal sehatku. Aku yang semula sangat menyangkal ta'aruf, tapi saat ini sudah melangkah terlalu jauh dan merasa sebegitu tenang dan yakin saja. Bismillah.

Ditulis oleh Tazkia Izzati

Jumat, 10 Agustus 2018

Jalan Allah

Beberapa waktu lalu, saya sempat cukup intens terlibat diskusi bersama kawan saya yang lebih senior dan sudah berkeluarga. Saya beberapa kali terlibat dalam obrolan-obrolan ringan tentang keluarga, seperti tentang peran seorang kepala kelurga, tentang pemilihan keputusan pernikahan, wawasan-wawasan penting ketika sudah berkeluarga, dan banyak hal lainnya. Saya menyerap ilmu yang cukup banyak dari mereka. Saya ingin mengaplikasikannya suatu saat nanti, entah kapan waktunya. Mendengar cerita-cerita mereka adalah salah satu bagian penting pembelajaran saya di sini. Hasil dari pembelajaran itu pula yang kemudian menjadi bahan pertimbangan menentukan rencana saya kedepan yang belum terjawab selama itu.


Saya tak memungkiri bahwa lingkungan sekitar akan mempengaruhi perilaku-perilaku dan pola pikir kita, sedikit atau banyak. Bersamaan dengan telah adanya keyakinan diri dan segala pengalaman yang telah didapat di masa lampau, kita akan mampu mengolah pembelajaran-pembelajaran hasil kebaikan dari lingkungan baru tersebut menjadi suatu pilihan sikap dan karakter diri yang lebih baik kedepannya. Karena memang fitrah kita untuk menjadi seorang pembelajar dalam hidup ini.

Rabu, 08 Agustus 2018

Sebelum Pilihan (2)


Sebelum berangkat ke jepang, saya belum memiliki keyakinan yang mantap akan salah satu rencana hidup saya. Ya, tentang rencana pernikahan. Hingga akhirnya berakhir pada kesimpulan yang mengambang, alias tak mempunyai rencana yang jelas untuk satu hal itu. Tiga bulan menjelang keberangkatan, saya memutuskan untuk mengakhiri kontrak kerja dan tinggal bersama keluarga di Ngawi sebelum berangkat, tidak lain hanya untuk mengamankan waktu bersama keluarga sebelum berangkat. Di jeda waktu tersebut, saya memiliki kesempatan yang lebih untuk berbincang bersama orang tua khususnya ibu, tentang banyak hal. Mulai dari hal sederhana, hingga hal yang lebih serius. Tak luput dari topik obrolan adalah obrolan tentang rencana pernikahan, yang notabene sangat jarang kami bicarakan di rumah. Kami memang sangat jarang membicarakan topik tersebut dalam obrolan-obrolan empat mata maupun obrolan keluarga. Namun justru di momen itu saya tiba-tiba penasaran akan pendapat Ibu tentang rencana pernikahan anaknya. Saya pikir pasti akan menjadi menarik.

Dalam beberapa kali kesempatan, jawaban ibu mengarah kepada satu hal, yakni kecenderungan pada keinginan bahwa sebaiknya saya menikah nanti-nanti saja, setelah sekitar umur 26 atau 27 tahun, atau bahkan setelah saya menuntaskan studi PhD saya nantinya. Bagi ibu, itu lebih baik.

Sejujurnya saya sudah sangat paham alasan ibu. Mungkin sebagian orang tua juga menginginkan hal yang sama, menginkan waktu yang lebih lama dengan anaknya yang masih belum mempunyai keluarga. Iya, hanya dengan anaknya. Dengan menjadi anak terakhir, mungkin alasan itu menjadi salah satu alasan terkuat Ibu saya. Menurut saya hal tersebut sangat wajar dan naluriah. Orang tua yang telah menghabiskan waktu bertahun-tahun lamanya untuk membesarkan dan mendidik anaknya, pasti ada terbersit keinginan untuk mengunduh hasil dari proses yang lama dan butuh pengorbanan tersebut, dalam bentuk apapun yang berbeda-beda. Dalam hal ini, ada sebagian keinginan Ibu untuk mengunduh sebagian hasil perkembangan anaknya dalam bentuk sebuah bakti. Bukan berharap, tapi lebih pada keinginan kecil seorang ibu yang jujur, sebagai bentuk kasih sayangnya kepada anaknya dan sebaliknya. Saya paham dan saya mengerti.

Saat itu saya tak kaget dan puas mendapatkan apapun jawaban dari ibu. Memang jawaban itu sudah saya pahami selama itu, karena saya sangat mengenal ibu. Alasan apa pun juga sudah saya mengerti, kalaupun ibu tak mengutarakannya.

Sekitar dua bulan berselang -mendekati waktu-waktu keberangkatan saya, saya mengambil beberapa langkah penting untuk menegaskan rencana kedepan saya yang tak ada kejelasan. Saya merasa waktu itu adalah waktu yang tepat untuk melakukan sesuatu untuk rencana saya. Pada akhirnya keputusan saya tak persis sama dengan yang sempat diutarakan ibu sebelumnya. Yakni terkait waktu, setahun atau dua tahun lebih cepat dari itu.  Namun pada akhirnya, ibu saya tetaplah ibu saya. Ibu yang pada dasarnya tak pernah memaksakan kehendak kepada anaknya. Semenjak obrolan kala itu, kami semakin intens terlibat dalam obrolan-obrolan singkat dan santai tentang rencana-rencana jangka pendek. Tak terlalu serius, tapi cukup berbobot. Akhirnya ibu tak terlalu bermasalah dengan keputusan saya. Saya pun sebenarnya juga tak mau terlalu bersikeras. Justru pada akhirnya kami sama-sama saling ulur. Namun, waktu terus berjalan dan keputusan pun tetap diambil.

 Saat itu, saya berpikir bahwa sebelum berangkat, setidaknya ada yang bisa lakukan suatu hal yang mendukung rencana saya tersebut, yang tak bisa saya lakukan ketika sudah di Jepang. Menurut saya waktu-waktu tersebut cukup kritis bagi saya, dalam konteks rencana saya saat itu. Hingga, setelah sempat berdiskusi dengan keluarga, sebelum berangkat ke Jepang saya berencana untuk bersilaturahim kepada sebuah keluarga, khususnya orang tua seseorang yang sebelumnya sudah saya kenal. Ini kaitannya dengan itikat baik seseorang yang akan mendatangi orang tua seseorang untuk menyampaikan sebuah maksud. Saya berharap setelah adanya silaturahim tersebut kemudian terbuka pintu yang lebih lebar lagi untuk sampai pada maksud yang utama. Ibu dan bapak sudah setuju. Dan menariknya tak ada sedikitpun objeksi dari mereka.

Namun akhirnya, Qodarullah, akhirnya kunjungan saya berakhir menjadi sebatas kunjungan biasa, tak meninggalkan kesimpulan apa-apa setelahnya. Mengambang. Hingga akhirnya, kemudian beberapa hari setelahnya saya berangkat ke Jepang meninggalkan satu tanda tanya dan ketidak jelasan dari niatan yang sempat akan dijalankan.

Setelah saat itu saya memutuskan kembali untuk menutup sementara niatan tersebut sampai waktu yang tak ditentukan, dan fokus pada apa yang akan saya jalani di Jepang, ya, untuk sekolah. Orang tua sendiri menegaskan jika sebaiknya saya fokus saja pada pendidikan saya saat ini, tak perlu memikirkan yang lain-lain. Saya pun juga sudah mengatur fokus saya. Ibu pasti akan lebih lega dan bahagia jika saya bisa fokus pada studi saya. Sejak saat itu saya mencoba melupakan rencana itu.

Beberapa bulan berlalu, saya sudah bisa menjalani proses adaptasi dengan baik. Saya menikmati kondisi di lingkungan baru bersama keluarga baru di sini.

Ditulis oleh Vempi Satriya

Sebelum Pilihan (1)


Tinggal dan bersekolah di luar negeri adalah sebuah pilihan yang saya ambil sekian tahun lalu. Dengan berbekal tekat dan niat yang kuat untuk bersekolah tingkat lanjut dan mencari pengalaman sebanyak-banyaknya di negeri orang, akhirnya saat itu Allah benar-benar memberikan jalan kepada saya untuk mencapai tujuan itu, alhamdulillah. Saya diberi kesempatan untuk dapat bersekolah di Jepang. Pilihan-pilihan itu membawa saya ada pada kondisi saat ini -melanjutkan tren sejak saat menjadi mahasiswa baru S1 kala itu, tinggal jauh dari orang tua dan kembali menjadi perantauan. Hanya saja yang saat ini lebih jauh lagi. Bahkan sangat jauh.

Orang tua selalu mendukung pilihan-pilihan yang hendak saya ambil. Mereka sangat jarang sekali menyanggah atau melarang pilihan saya, khususnya terkait dengan akademik dan karir saya kedepan. Tapi menariknya, mereka, khususnya ibu, kadang tak tahu detil pilihan saya. Seperti halnya apa sebenarnya jurusan saat ini yang saya ambil, atau, apa detil pekerjaan yang sempat saya kerjakan saat bekerja kontrak di salah satu konsultan di kota Bandung. Itu bukan karena mereka tidak peduli, tapi karena menurut mereka hal-hal itu jika dipahami terlalu kompleks dan mereka memilih untuk tahu dasar-dasarnya saja. Pun terkait bidang keilmuan saya, mereka juga masih cukup awam. Namun lepas dari itu, orang tua saya cukup percaya kepada pilihan anaknya sepenuhnya. Semua anak seharusnya merasakan hal yang sama, bagaimana orang tua selalui menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya, walaupun dengan cara yang bermacam-macam pastinya.

Tinggal jauh dari orang tua tak sepantasnya lalu kita juga menjadi jauh dari mereka. Selama tinggal di sini, komunikasi saya dengan orang tua alhamdulillah sangatlah lancar, bahkan serasa tak tinggal berjauhan dengan mereka. Dengan adanya teknologi komunikasi seperti sekarang, kami bisa dengan mudah bertatap muka satu sama lain melalui layar handphone. Itu sudah lebih dari cukup untuk menghadirkan mereka dalam aktivitas-aktivitas kita di perantauan. Itu pula yang membuat saya masih nyaman tinggal di negeri ini, sejauh saya bisa merawat tali ikatan itu.

Setelah beberapa bulan tinggal di sini, saya menemukan banyak hal baru di sini. Tak perlu jauh-jauh. Saya temukan banyak sesuatu baru saya temui dalam diri saya sendiri. Dengan pola keseharian yang menyediakan banyak ruang berpikir untuk diri sendiri, membuat saya mempunyai kesempatan lebih luas untuk melakukan observasi terhadap diri saya sendiri. Tak seperti di Indonesia, dimana saya lebih banyak menghabiskan waktu dalam keramaian. Namun bukan berarti saya terbatasi atau membatasi diri untuk bertemu orang, lebih pada keinginan untuk mengatur tempo dan menambah porsi waktu untuk diri saya sendiri yang dulu sangat sulit saya dapatkan saat masa-masa sebelumnya. Dari ruang-ruang sendiri yang lebih luas itu, beberapa keinginan-keinginan yang dulu tak terlihat kini mulai terkuak.

Beberapa diantaranya adalah tentang pilihan hidup kedepan. Pilihan-pilihan yang sempat terbengkalai perencaannya mulai bisa tertata kembali sedikit demi sedikit, secara perlahan. Keputusan-keputusan yang menggantung sejak lama, saat itu mulai bisa dipastikan untuk segera ditegaskan.

Salah satu yang terkuak kembali adalah pilihan tentang jodoh.

Ditulis oleh Vempi Satriya

Dengan Jalan Apa Aku Menjemput Jodohku?



Menjadi sebuah dilema besar bagiku saat aku dihadapkan pada beberapa jalan dalam menjemput jodohku. Aku tak mungkin seperti mereka yang bisa berpacaran yang kemudian menikah. Terlalu banyak aktivitas asing pada gaya berpacaran kebanyakan orang yang sangat tidak mungkin aku lakukan. Belum lagi akan sangat banyak pihak yang menentang. Kedua orang tuaku dan Allah. Menikah adalah ibadah. Tak mungkin jalan menuju penggenapan separuh agamaku dilalui dengan jalan yang tidak diridhoi Allah dan kedua orang tuaku. Aku akan mencari jalan lain selain berpacaran.

Menikah dengan teman dalam satu lingkungan. Teman satu sekolah atau teman kantor. Tetapi tetap tidak dengan jalan pacaran. Hanya sekedar dekat, cocok, kemudian satu sama lain saling berkomitmen untuk berjalan pada tahap yang lebih serius. Pikirku hanya ini satu-satunya jalan yang mungkin dapat aku pilih. Kemudian aku berpikir kembali. Sejak aku bersekolah SMA, kemudian melanjutkan kuliah, dan lalu bekerja, aku berada pada lingkungan pertemanan yang sangat beragam. Beragam dalam artian agama dan kepercayaan. Tidak seperti saat aku bersekolah di bangku SD dan SMP yang jelas sekolah islam terpadu. Memang banyak yang beragama islam, tetapi sangat jarang yang memiliki pemahaman yang sama sepertiku. Ya. Pemahaman bahwa tak perlu berpacaran jika ingin menikah. Kriteria lain yang aku harapkan adalah setidaknya mereka rajin sholat di awal waktu. Tetapi hal ini sangat jarang aku temukan pada teman-teman kantorku. Bahkan ada satu kriteria yang menjadi syarat mutlak dari orang tuaku. Mereka rutin mengaji setiap minggunya. Aku memang melonggarkan syarat mutlak dari orang tuaku ini. Pikirku jika mereka belum mengaji, mungkin aku bisa mengajaknya. Tetapi ini akan menjadi sebuah PR besar bagiku dalam berumah tangga nanti. Aku teringat pada pesan yang disampaikan oleh salah satu pembicara pada sekolah pra nikah yang aku ikuti beberapa bulan yang lalu. Beliau bilang bahwa sebelum menikah jangan membawa PR. PR akan memperbaiki pasangan agar menjadi seperti yang kita harapkan. Karena setelah menikah akan ada PR-PR lain yang bersiap menanti. Tetapi tetap ridho berada pada kedua orang tuaku. Aku terlalu khawatir jika orang tuaku akan menolak saat orang itu datang melamarku.

Hingga detik itu, aku sangat menolak keras jika aku harus melalui jalan ta'aruf dalam menjemput jodohku. Aku terlalu takut dan khawatir akan hidup bersama dengan orang yang aku baru kenal. Selama itu memang ada beberapa CV yang singgah, tetapi aku benar-benar tidak serius menanggapinya. Aku hanya menghargai guru ngaji dan orang tuaku saja, yang sudah berusaha mempertemukan aku dengan calon orang yang akan mendampingi hidupku. Ya. Semua CV aku tolak. Pertama memang karena mereka tak sesuai dengan kriteriaku. Kedua karena aku sangat menolak keras proses ta'aruf itu. Sepertinya alasan tidak sesuai kriteria hanya alasan yang dibuat-buat agar prosesnya tidak jadi berjalan. Pintu hatiku sudah tertutup rapat-rapat jika jalan yang dipilih adalah dengan berta'aruf.

Kemudian jalan apa yang harus aku pilih? Mengingat usiaku yang semakin hari semakin bertambah. Ditambah tahun ini adalah targetku menikah. Rasa khawatir itu selalu saja menghantui keseharianku saat itu. Ditambah pula proses move on yang tak berkesudahan yang membuat aku semakin gerah dan semakin khawatir. Aku benar-benar dalam posisi pasrah pada Tuhan. Aku bingung. Aku akan menerima apapun jalan yang Allah pilihkan untukku. Ya. Sejak saat itu aku tak pernah berhenti melakukan sholat tahajud setiap malam. Aku merunduk dan berdoa tiada hentinya. Meminta pada Allah agar aku segera dipertemukan dengan jodohku sesuai dengan yang Allah ridhoi. Tak luput pula membaca tilawah al-quran yang menjadi hal yang dapat memperkuat terkabulnya doaku. Kurang lebih satu hingga dua bulan aku tak pernah berhenti sholat tahajud dan rutin membaca qur'an. Hingga suatu hari itu tiba. Hari dimana aku mengetuk semua pintu. Aku berusaha untuk bisa menerima jalan ta'aruf. Aku pasrah. Aku meminta seorang teman kantorku (yang sudah menikah terlebih dahulu) untuk mencarikan. Aku percaya padanya karena kita masih dalam satu pemahaman. Aku meminta orang tuaku untuk berupaya pula mencarikan. Saat itu, orang tuaku meminta bantuan temannya, yang merupakan guru ngajiku dulu saat masih di Indonesia. Teman orang tuaku saat itu sedang tinggal di Jepang untuk bersekolah.

7 Agustus 2018

Aku diminta teman orang tuaku, sebut saja Fulanah, untuk dapat mengirimkan CVku. Fulanah bilang, teman kampus suaminya juga sedang dalam proses mencari. Aku sempat menunda dalam proses pengiriman CVku. Karena aku belum memperbaharui CVku, sehingga pada akhirnya aku menggunakan CV yang aku tulis april lalu. Tetapi tetap tidak jauh beda. Pagi itu, Fulanah mengirimkan CV seseorang padaku. Aku tidak langsung membacanya. Aku sudah berprasangka buruk terlebih dahulu. Aku kembali menyiapkan alasan-alasan untuk menolak kembali karena tidak sesuai kriteriaku. Padahal saat itu aku juga bingung pada diriku sendiri. Mau sampai kapan aku bisa menemukan orang yang sesuai dengan kriteriaku. Sangat mustahil! Buah dari aku rajin sholat dan mengaji belakangan, sesaat melunakkan hati dan semua pemikiran-pemikiran burukku. Aku pasrah. Aku membaca perlahan setiap detail informasi yang tertulis pada CVnya. Pun juga melihat foto dirinya. Saat itu aku merasa aku adalah orang yang paling jahat dan betapa baiknya Allah padaku. Allah sangat baik padaku. Kriteria dan rencana masa depanku yang aku impikan ada pada dirinya. Rasanya dada sesak sesaat. Ini tidak mungkin. Spontan aku berkata iya dalam hatiku. Fulanah meminta berapa lama aku dapat memberikan jawaban. Aku meminta satu minggu. Padahal dalam hati sudah auto yes menerima. Tetapi biarkan waktu yang menjawab selama satu minggu dalam memperkuat jawaban iya. Selang beberapa hari kemudian, aku terpancing dalam percakapan antara Fulanah dan aku yang secara tidak langsung aku menjawab iya. Dari orang tuaku juga sudah sangat setuju. Kemudian Fulanah meminta agar dapat melanjutkan ke tahap ta'aruf. Aku bingung pada diriku sendiri. Saat itu perasaan yakin menguat dalam hati. Yakin untuk dapat melanjutkan ke tahap ta'aruf. Tahu benar jika sebelumnya aku sangat menolak keras proses ta'aruf ini. Rasa yakin terus mendorongku untuk menghilangkan pemikiran-pemikiran burukku. Mungkin ini buah dari aku dekat dengan Allah.

Ditulis oleh Tazkia Izzati