Pages

Sabtu, 29 September 2018

Kehadiran Pertamamu

Apakah ta'aruf yang akan saya jalani kala itu akan terbatas dengan orang yang sebelumnya tak saya kenal?

Saya rasa tidak. Saat itu saya bisa saja menjalani proses ini dengan orang yang sebelumnya sudah saya kenal, karena esensinya adalah pada proses pengenalannya, bukan? Jika saya sudah mengenalnya sebelumnya, mungkin justru lebih baik. Kemudian tinggal melanjutkan tahapan pengenalan secara lebih mendalam dalam koridor yang lebih syar'i dan berorientasi pada pernikahan.




Banyak orang yang hanya membatasi proses ta'aruf hanyalah dengan orang yang tidak saling kenal sebelumnya atau hanya dengan cara bertukar biodata saja. Banyak orang yang mungkin memilih untuk mundur jika harus menjalani proses setiba-tiba itu. Mungkin itu wajar. Apalagi bagi mereka yang punya segudang kriteria dan keinginan akan seperti apa pasangan yang kelak akan menemaninya di sisa hidupnya, dan dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengenalnya. Namun, untuk saya pribadi, mungkin sedikit berbeda. Sedari awal memang sudah saya niatkan untuk menjemput jodoh dengan cara yang baik dan percaya sepenuhnya pada Allah. Itulah yang membuat kriteria saya kemudian tak muluk-muluk, dan sesuai standar minimal yang telah disebutkan rasulullah salallahualaihiwassalam, yakni karena agamanya. Umum bukan? Iya, memang. Tapi menurut saya itu pondasi utamanya sebelum melihat kecocokan lainnya dari segi fisik, keluarga, pendidikan, karakter kepribadiannya dan lainnya. Saya akan melihat itu saat proses nantinya. Saya percaya jika dari awal sudah diawali dengan niat yang baik, insyaAllah semua proses akan dimudahkan. Saya juga berusaha untuk tetap bisa menggunakan pertimbangan terbaik saya, bukan hanya mengikuti alur saja dan merasa sungkan jika tidak lanjut.

Kenapa Ta'aruf (2)


Hingga waktu itu datang. Saya diberi jalan oleh Allah untuk menjalankan ta'aruf.
Sempat terbersit pertanyaan: Yakin nih bener-bener ta'aruf? Bagaimana bisa saya menikah dengan seseorang yang (bisa jadi) baru saja saya kenal?


Saat itu, qodarullah Allah menunjukkan jalan lain kepada saya. Tanpa adanya pengharapan sebelumnya, seorang kerabat menanyakan kepada saya akan apakah saya bersedia menjalani ta'aruf. Saat itu saya harus dihadapkan pada salah satu pilihan terbesar dalam hidup saya.
Sebenarnya itu bukan kali pertama. Sebelumnya saya beberapa kali juga ditanya terkait hal itu. Namun saat itu dengan singkat saya langsung menolaknya. Hingga, saya kembali mendapatkan tawaran itu di kondisi yang sangat berbeda dari sebelumnya. Kondisi yang membuat saya tak dengan cepat menolaknya. Saya putuskan untuk mempertimbangkan, dan mengistikhorohkannya terlebih dahulu.

Senin, 24 September 2018

Kenapa Ta'aruf (1)

Perjalanan dan pengalaman selama ini, menuntun saya untuk sedikit demi sedikit mengalami perubahan, tentunya dalam upaya menuju pribadi yang lebih baik. Berbagai pembelajaran yang saya dapat selama ini, memberikan clue kepada saya, jalan dan pilihan mana yang baik untuk saya, salah satunya adalah pilihan bagaimana saya menjemput jodoh.


Saya tumbuh dalam lingkungan 'umum' selama masa kanak-kanak hingga remaja. Preferensi karakter dan pola pikir sebagian besar saya serap dari keluarga khususnya, lingkungan dan proses belajar mengajar formal di sekolah. Pengetahuan ilmu agama, banyak saya dapatkan saat masa kanak-kanak khususnya tentang baca Qur'an, serta di bangku sekolah yang notabene berdasarkan standar kurikulum sekolah negeri pada umumnya. Hingga pertengahan masa SMA, saya mulai mengenal belajar agama dan berkesempatan dikumpulkan bersama orang-orang baik di organisasi.

Selasa, 11 September 2018

Terima Kasih Karena Mau Pulang!


Bagiku, menjalani ta'aruf merupakan hal yang tak dapat aku terima. Meskipun seiring berjalannya waktu, hatiku dapat melunak sehingga dapat menerima jalan ta'aruf. Namun tiada disangka ada hal yang tak masuk akal lainnya yang harus aku jalani. Dia akan datang ke Indonesia beberapa hari sebelum berlangsungnya akad nikah. Meskipun ada beberapa kisah nyata dari orang lain yang benar menikah dengan kondisi seperti yang akan aku hadapi, tetapi aku berbeda. Aku tak bisa disamakan dengan mereka. Aku baru saja menerima hal yang selama ini aku sangkal. Dan aku harus menerima hal lain yang lebih tidak masuk akal menurutku. Aku termasuk pribadi yang introvert. Aku saja masih sangat khawatir akan menikah dengan orang yang baru saja aku kenal. Dan aku harus menerima kenyataan bahwa aku baru dipertemukan langsung dengan dirinya sesaat beberapa hari menjelang pernikahan. Aku lebih memilih mundur jika aku tetap dipaksa menerima kenyataan itu.

Namun saat itu dia menjanjikan akan pulang ke Indonesia dua kali. Kali pertama saat melamarku dan kali kedua saat akan menikah. Tetapi janji manis itu tak bertahan lama. Berbagai alasan dia berikan untuk mempertahankan rencana kepulangannya yang hanya satu kali saja. Yaitu saat akan menikah. Ya bagiku itu hanya sebuah 'alasan'. Aku tetap tidak dapat menerima alasan-alasan itu. Bukannya aku tidak mengerti kondisinya, tetapi karena secara psikologis aku benar-benar tidak siap jika harus berlaku demikian. Tangis seakan menjadi teman baik dalam melalui jalan yang sulit ini. Aku berkali-kali bercerita pada Fulanah bahwa aku tidak siap. Pikirku dengan alasan-alasan yang dia berikan, akan ada jalan yang masih bisa diperjuangkan. Hingga akhirnya dia benar-benar akan mengusahakan pulang dua kali. Fulanah bilang padaku, jika dia akan mengusahakan yang terbaik untukku. Alhamdulillah dia akan pulang oktober ini untuk melamarku. Aku merasa aku orang yang egois saat itu. Aku hanya mementingkan apa yang aku rasa saja tanpa tahu beban apa yang sedang dia pikul saat itu. Mungkin sangat amat banyak pertimbangan yang dia pikirkan untuk tidak pulang dua kali. Tetapi aku sangat bersyukur dia akan mengusahakan pulang. Sejak dia tinggal di Jepang oktober tahun lalu, dia tak pernah pulang ke Indonesia bahkan saat lebaran idhul fitri pun tidak. Dan kali ini dia akan pulang ke Indonesia karena aku yang meminta. Rasa syukur dan terima kasih padanya sepertinya tak cukup untuk membalas perjuangannya. Semoga Allah meridhoi jalan ini agar kita tetap terus berlanjut hingga ijab qabul terucap.

Ditulis oleh Tazkia Izzati