Pages

Rabu, 27 Maret 2019

Being A New Wife in New Country, Japan

15 Januari 2019

Hari ini adalah hari pertama aku menginjakkan kaki di Jepang. Aku akan tinggal di sini untuk waktu yang sangat lama bersama suami hingga suami menyelesaikan studi S3nya. Jauh sebelum aku menikah dengannya, aku memiliki impian. Aku menginginkan agar aku dapat tinggal di negara orang bersama dengan suami dan anak-anakku. Membayangkan betapa indah dan bahagia dapat tinggal di negara maju, membesarkan anak dengan berbagai macam fasilitas yang terjamin dan menaruh harapan besar agar anak dapat berkembang jauh lebih pesat dibanding jika dibesarkan di Indonesia. Aku tak menyangka jika impianku benar dikabulkan Allah. Aku menikah dengan orang yang sedang studi master di Jepang.


Saat ini Jepang sedang winter. Dan ini pertama kalinya aku merasakan dingin yang sangat dingin. Pemandangan kota Tokyo yang ramai dengan pejalan kaki, lingkungan yang begitu bersih dan rapih, kendaraan mobil yang tak begitu seramai di Jakarta bahkan lebih ramai pejalan kaki. Rasanya seperti di film-film.

Semua terasa asing, bahkan saat aku pertama kali menaiki bis kota menuju apartemen. Di dalam bis terdapat dua pintu. Pintu tengah khusus untuk penumpang yang akan naik dan pintu depan khusus untuk penumpang yang akan turun. Saat penumpang naik, ada sebuah mesin dimana kita harus mengambil karcis atau tap-in menggunakan kartu khusus. Pada karcis terdapat sebuah nomor yang menandakan biaya yang harus kita bayarkan dan informasi tersebut tertera pada layar di depan bis. Jika halte tujuan kita akan tiba, di setiap sudut di dekat kursi penumpang ataupun tiang-tiang untuk penumpang berdiri terdapat sebuah button yang harus kita tekan untuk menandakan kepada driver bis jika ada penumpang yang akan turun. Terdengar pula dari pengeras suara, kita sedang berada di halte apa dan sedang menuju halte apa. Saat kita hendak turun dari bis, kita memasukkan sejumlah koin bersamaan dengan karcis ke dalam sebuah kotak atau tap out dengan menggunakan kartu khusus. Terdapat pula mesin penukar uang koin sejumlah 1000 yen yang dekat dengan kotak itu.

Hidup di negeri orang seperti memulai segala sesuatunya dari nol. Sangat berbeda. Ditambah aku yang tidak bisa sama sekali berbahasa jepang. Aku pun pergi kemana-mana selalu bersama suami. Saat itu suamiku kembali melanjutkan aktivitasnya sebagai mahasiswa. Sedangkan aku di apartemen saja bekerja remote dari kantor ku yang di Jakarta. Selama dua minggu pertama aku tidak bisa fokus dalam bekerja karena harus bekerja di dalam rumah saja. Sedangkan aku harus bersih-bersih rumah dan memasak. Sebelum menikah aku tidak terbiasa dengan memasak, dan saat ini aku dituntut untuk bisa memasak, bahkan memasak setiap saat. Karena di Jepang membeli makanan sangat mahal, belum lagi sangat jarang masakan yang menjamin kehalalannya. Membiasakan diri untuk memasak cukup sulit buat aku. Aku saja setelah menikah ini baru mengenal beberapa bumbu dapur yang sebelum menikah aku tak dapat membedakannya. Bingung mau masak apa, sibuk setiap sebelum memasak mencari resep-resep di internet. Belum lagi jika urutannya salah, rasanya tidak enak, yang menambah frustasi dalam memasak. Suami memang selalu memuji dan tak pernah mengeluh jika masakanku tidak enak karena wujud apresiasinya padaku. Bahkan beberapa kali, karena suami yang sudah terlebih dahulu terbiasa memasak, mengajarkan aku bagaimana cara memasak yang benar.

1 yen jika dikurskan ke mata uang rupiah senilai 280. Tetapi semua kebutuhan di sini mahal. Jika dikurskan ke rupiah sangat jauh berbeda dengan harga-harga kebutuhan yang ada di Indonesia. Aku pun perlahan mulai memahami, setiap kebutuhan yang dapat dikategorikan mahal atau murah. Aku mulai ke tempat belanja sendiri, naik bis sendiri, semuanya sendiri agar aku tak terlalu bergantung pada suami jika dia sedang tidak ada.

Pun aku harus membiasakan diri untuk memisahkan sampah, antara yang plastik, non organik, botol plastik, dan logam-logam. Setiap hari ada hari khusus untuk membuang sampah jenis sampah tertentu. Misalkan hari selasa adalah hari membuang sampah untuk sampah organik. Setiap jenis sampah pun dimasukkan ke dalam plastik khusus sampah yang berbeda setiap jenis sampahnya. Dan uniknya setiap kota memiliki warna yang berbeda-beda.

Di sini kebanyakan orang menggunakan transportasi umum, seperti bis, subway, atau bahkan dengan berjalan kaki. Zebra cross untuk pejalan kaki yang hendak menyebrang pun banyak di sini. Tentu dengan banyak rambu-rambunya. Bahkan harus bergantian antara pejalan kaki yang ingin menyebrang dan kendaraan yang akan melintas dan harus benar-benar mematuhi rambunya. Awalnya aku dan suami pergi kemana-mana menggunakan bis kota ataupun dengan berjalan kaki. Ongkos bis pun tidak begitu mahal, tetapi jika dilakukan terus menerus lumayan dapat menguras kantong. Akhirnya suami pun membelikan aku sepeda listrik. Karena suami juga sudah memiliki sepeda. Kemudian kami pergi kemana-mana menggunakan sepeda.

Supermarket di sini pun cukup unik. Karena ada beberapa supermarket dimana pembeli yang harus membungkus sendiri belanjaan miliknya setelah dibayar di kasir. Kantong plastik pun ada harganya sendiri. Sehingga ada beberapa orang yang membawa tas belanja sendiri.

Kemudian setelah dua minggu berlalu dengan aku yang tidak begitu fokus dalam mengerjakan pekerjaan kantor, aku mengusulkan kepada suami agar aku bisa bekerja di perpustakaan kampusnya. Lagipula aku butuh menghirup udara luar. Rasanya suntuk jika setiap hari harus berada di rumah, mengerjakan kerjaan rumah, sedangkan ada tuntutan lain yang harus aku selesaikan, yaitu pekerjaan kantor. Setelah mencoba bekerja di perpustakaan kampus, aku dapat bekerja seperti biasanya.

Musim winter memiliki waktu siang yang singkat dan waktu malam yang panjang. Waktu shubuh pukul 05.00 sedangkan waktu magrib pukul 17.00. Cukup sulit menyesuaikan waktu siang yang sempit. Mengingat kita beraktivitas pada siang hari. Winter yang begitu dingin bahkan hingga minus 4 derajat. Rasanya sulit untuk beraktivitas saat winter. Harus selalu bergantung dengan heater dan air panas saat mandi ataupun mencuci piring. Tetapi di sinilah aku bisa merasakan salju untuk pertama kalinya. Salju yang jika dipegang seperti memegang parutan es. Dinginnya memang tak tertahankan hingga nyeri ke tulang-tulang. Tetapi melihat pepohonan yang berbalut salju, pinggiran jalan yang bertumpuk salju, sangat begitu indah seakan tak peduli lagi dengan dingin yang begitu ekstrim.

Aku tinggal di apartemen hanya berdua saja dengan suami. Setiap hari selalu bersama. Aku pun merasa semakin dekat dengannya. Ingin marah saja rasanya tak bisa lama-lama. Rasa cinta itu semakin hari semakin tumbuh. Namun, memang semakin terlihat karakter dari masing-masing kami. Aku yang sebelumnya tak tahu dan sempat merasa kaget bahkan menangis karena suami yang mungkin baginya hanya bersikap tegas saja. Tetapi menurutku seperti marah-marah padaku. Memang ada alasannya kenapa dia marah. Karena aku melakukan kesalahan yang membuatnya dia marah. Dan bagiku nadanya seperti membentak. Sebelum menikah padahal aku sudah sangat mewanti-wanti jika dia sedang marah harus bagaimana. Dia cerita jika dia jarang marah. Dan setelah menikah dan tinggal di Sendai, aku merasa apa yang dia katakan dan apa yang terjadi sangat berbeda. Mungkin dari situ aku sedikit memiliki rasa kecewa padanya. Tetapi kembali lagi bahwa karena kami selalu menghabiskan waktu bersama, aku pun melupakan rasa kecewa itu dan sudah sirna karena rasa sayangku padanya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar