Bulan Juli tahun 2018 lalu, saya masih disibukkan dengan kegiatan perkuliahan dan riset. Namun siapa sangka, 5 bulan berselang, saya telah duduk di kursi pelaminan bersama seorang perempuan yang akan mendampingi sisa masa hidup saya.
Di hari itu, 30 Desember 2018, saya berikrar suci mengucap kalimat kabul menyambung akad dari Ayahnya dengan tangan yang saling berjabat. Itu menandai pertalian yang sangat kuat antara saya dengannya. Sebuah ikatan yang disebutkan dalam Al-qur'an sebagai "Mitsaqan Ghalizha", sebuah kata yang setara untuk menunjuk ikatan yang sangat kokoh. Bahkan di ayat qur'an ikatan itu disetarakan dengan ikatan perjuangan dakwah para nabi dan rasul.
Janji suci yang saya ikrarkan menandai dimulainya komitmen sakral yang bukan hanya antar manusia yang terlibat, tetapi juga Allah SWT. Sebuah janji menimbulkan konsekuensi lahir dan batin, dunia dan akhirat untuk menjalankan kewajiban saya sebagai suami dan memenuhi haknya sebagai istri.
Sungguh pertemuan ini sama sekali tak pernah saya duga sebelumnya. Seorang yang bahkan sebelumnya tak saya kenal sama sekali, kini akan menjadi pendampingi hidup saya. Proses demi proses saya jalani dengan cepat. Bak semuanya telah dimudahkan saja. Tahap demi tahap pun saya jalani. Hingga urusan-urusan yang tadinya saya pikir akan sulit, ternyata tidak. Seperti halnya saat harus bolak-balik Jepang-Indonesia untuk menjalani tunangan dan pernikahan. Itu semua saya jalani dengan baik dengan izin Allah, melalui jalan kemudahan yang dibentangkan oleh-Nya di depan saya. Hingga sejak saat itu, saya telah resmi menggandeng seorang anak perempuan dan membawanya terbang ke negeri Sakura.